BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cedera sistem saraf mempengaruhi lebih dari 90.000 orang setiap tahun. Diperkirakan bahwa cedera tulang belakang saja mempengaruhi 10.000 orang setiap tahun. Sebagai akibat dari tingginya insiden cedera neurologis, regenerasi syaraf dan perbaikannya, sebuah subbidang dari teknik jaringan saraf, menjadi lapangan yang berkembang pesat dan didedikasikan untuk penemuan cara-cara baru untuk memulihkan fungsi saraf setelah cedera.
Laserasi saraf perifer adalah luka yang paling sering terjadi dan paling sering menimbulkan kecacatan jangka panjang yang berhubungan dengan nyeri (Jacquet et. Al. 2001), kelemahan otot, dan kekurangan kemampuan sensoris pada reseptor saraf organ target di kulit, sendi dan otot (Lundberg dan Rosen. 2007). Bahkan fungsi normal tidak dapat dikembalikan bila jaringan saraf diperbaiki (Lundborg 2000). Jejas pada saraf biasanya mengenai dewasa muda, dan umumnya adalah luka akibat pekerjaan seperti terkena gelas, pisau atau mesin ( Mc. Allister et al. 1996 ; Rosbeg et al 2005 ), akan tetapi sejumlah penderita akibat kecelakaan lalu lintas, penyerangan, dan luka akibat kesalahan sendiri. Keparahan dari luka bervariasi, mulai dari minor, seperti jejas pada saraf di jari-jari, hingga mayor, seperti jejas plexus brachialis.1
Lebih dari 10.000 kasus cedera tulang belakang traumatis (SCI) terjadi setiap tahun di Amerika Serikat saja dengan jumlah kasus melebihi 200.000 yang menjadi dua kali lipat ketika digabung dengan SCI non-trauma (Sadowsky et al 2002). Laki-laki empat kali lebih rentan terhadap perempuan dari SCI (Hulsebosch 2002) dan sebagian besar masih berusia muda antara 16 dan 30 tahun (Sadowsky et al 2002). Mayoritas SCI disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dan olahraga, luka tembak, dan cacat bawaan saraf tulang belakang.2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Plastisitas Otak
Sampai saat ini pemahaman terhadap struktur dan fungsi otak masih banyak yang berdasarkan pada model hierarki, dimana tiap-tiap bagian otak memiliki struktur tertentu dan memiliki fungsi tertentu pula (Held in Cohen, 1993). Pemahaman terhadap model ini tidaklah salah, tetapi dapat menyebabkan pemahaman terhadap struktur dan fungsi otak menjadi kaku. Seperti adanya pendapat bahwa kerusakan pada otak tidak akan pernah sembuh kembali, sehingga bagian otak yang rusak tersebut akan kehilangan fungsinya secara permanen.
Seharusnyalah dipahami juga bahwa struktur dan fungsi otak adalah fleksibel terkait dengan berbagai sistem tubuh dan lingkungan. Adalah benar sel-sel otak yang mengalami kematian tidak bisa sembuh kembali, tetapi masih ada kemungkinan ruang dan waktu bahwa fungsi otak yang hilang akibat kerusakan tersebut diambil alih oleh bagian otak yang lain dengan cara atau mekanisme plastisitas yang sampai sekarang masih menjadi misteri, walaupun sedikit demi sedikit mulai terkuak (Carr & Shepherd, 1987).
Beberapa asumsi dasar tentang struktur dan fungsi pada otak terkait dengan plastisitas yang akan dibahas lebih lanjut, diantaranya adalah (Carr & Shepherd, 1987, 1998; Cohen 1993):
1. Otak memiliki struktur tertentu dan memiliki fungsi tertentu sesuai dengan penataannya (model hierarki).
2. Otak yang normal akan berkembang sesuai dengan kebutuhan (apabila dibutuhkan/ digunakan maka otak akan berkembang dan sebaliknya)
3. Pengaturan fungsi tertentu pada otak terdapat pada beberapa tingkat/area, sehingga bila ada satu rusak, masih ada yang mengatur fungsi yang rusak
4. Daerah yang tak memiliki fungsi khusus pada otak dapat belajar atau mengambil alih fungsi dari daerah yang mengalami kerusakan.
Penggolongan Plastisitas Otak yaitu:
1. Plastisitas dari struktur Anatomi
· Regenerasi (regeneration)
· Penyebaran kolateral (collateral sprouting)
2. Penyesuaian fisiologis
· Diaschisis
· Peningkatan sensitivitas hubungan saraf (Denervation supersensitivity)
· Pengefektifan sinapsis laten (Silent synapsis recruitment)
3. Cross modal plasticity meliputi:
· Aktivasi bilateral dari sistem motorik
· Penggunaan jalur ipsilateral
· Perekrutan area motorik tambahan
1. Diaschisis (neural shock) atau pemulihan spontan
a) Gangguan laten dari aktivitas neuronal di dekat area kerusakan
b) Penurunan suplai darah dan metabolisme
c) Biasanya pasien menunjukkan gejala flaccid
d) Pemulihan dini (3-4 minggu setelah lesi) biasanya disebabkan oleh resolusi dari diaschisis
e) Hilangnya edema serebri, perbaikan fungsi sel saraf daerah penumbra, serta adanya kolateral dapat terjadi dalam waktu yang tidak lama.
2. Perbaikan yang terus berlangsung dalam beberapa bulan bahkan beberapa tahun (plastisitas otak)
a) Pengefektifan sinapsis laten (Silent synapsis recruitment): Pembukaan jalur yang sebelumnya telah ada tetapi secara fungsional terdepresi atau melalui belajar dapat dipanggil ketika sistem yang biasa telah gagal.
b) Peningkatan sensitivitas hubungan saraf (Denervation supersensitivity): pasca sinapsis menjadi sangat sensitif sehingga impuls saraf minimal mampu diterima, perubahan dalam konduksi dendrit termasuk peningkatan pengeluaran transmitter & disinhibisi terminal eksitatoris.
c) Axonal regeneration: Terjadi regenerasi pada serabut saraf dimulai dari proksimal menuju ke distal.
d) Collateral sprouting (pertunasan kolateral): Merupakan pertunasan dari sel yang utuh / tidak rusak yang berdekatan dengan jaringan saraf yang rusak, ke daerah denervasi setelah sebagian/semua input normalnya rusak. Pertunasan meningkatkan efektivitas sinaptik & menggantikan sinaps yang rusak atau sinaptogenesis dinamis yang terus menerus terjadi dalam keadaan normal.3
2.2 Klasifikasi Cedera Saraf
Tidak ada sistem klasifikasi tunggal yang dapat menggambarkan semua variasi cedera saraf. Kebanyakan sistem menghubungkan derajat cedera berdasarkan gejala, patologi dan prognosis. Klasifikasi tradisional cedera saraf perifer adalah klasifikasi Seddon. Seddon mendeskripsikan adanya tiga macam cedera yaitu: neuropraksia, axonotmesis dan neurotmesis.4
Klasifikasi Sunderland mengklasifikasikan tiga tipe cedera oleh Seddon menjadi lima kategori menurut tingkat keparahannya. Cedera grade pertama sesuai dengan neuropraxia dan cedera grade kedua sesuai dengan axonotmesis. Cedera grade ketiga terjadi ketika ada disrupsi axon (axonotmesis) dan juga cedera parsial endoneurium. Kategori cedera grade ketiga terletak antara axonotmesis dengan neurotmesis. Tergantung pada luasnya kerusakan endoneurium, pemulihan fungsional masih memungkinkan. Sunderland membagi neurotmesis menjadi cedera grade empat dan lima. Pada cedera grade empat, semua bagian saraf telah terkena kecuali epineurium. Pemulihan tidak mungkin tanpa tindakan bedah. Sedangkan cedera grade lima meliputi cedera semua bagian sel saraf dan merupakan yang paling parah.
Keberhasilan regenerasi tergantung luasnya keparahan dari awal cedera dan perubahan degenerative yang terjadi. Perubahan patologi ringan bahkan tidak ada pada cedera grade pertama dimana hanya ada hambatan konduksi, dan tidak ada proses regenerasi atau degenerasi yang benar-benar terjadi. Pada cedera grade kedua terjadi sedikit perubahan histologi di daerah cedera atau proksimal dari itu begitu pula di bagian distal dari daerah cedera, sebuah proses yang dimediasi oleh kalsium yang dikenal dengan degenerasi Wallerian atau degenerasi anterograde terjadi.
a. Cedera derajat satu atau Neurapraxia
Ini adalah jenis jejas yang paling ringan, dengan tingkat kesembuhan sempurna. Pada kasus ini struktur dari jaringan saraf tetap intak, namun terjadi gangguan dalam konduksi impuls ke serat-serat saraf. Hal ini lebih sering terjadi pada kondisi kompresi atau adanya hambatan pada asupan aliran darah ( iskemik). Hilangnya fungsi akan kembali normal dalam beberapa jam sampai beberapa bulan (rata-rata adalah 6-8 minggu). Degenerasi Wallerian tidak terjadi. Kecepatan kesembuhan saraf motorik dan sensorik lebih baik bila dibandingkan dengan saraf otonom. Untuk alasan yang tidak diketahui, serat motorik lebih rentan terhadap jenis cedera ini daripada serat sensorik atau simpatik. Kerentanan modalitas secara berurutan adalah: motorik, proprioseptif, sentuhan, sensasi suhu, sensasi nyeri, dan fungsi simpatik.
b. Cedera derajat kedua atau Axonotmesis
Ini adalah jejas pada jaringan saraf dengan tingkat keparahan lebih tinggi, ditemukannya kerusakan pada neuronal axon, tapi selubung myelin tetap utuh. Kerusakan saraf seperti ini dapat menyebabkan paralisis pada saraf motorik, sensorik dan autonom. Jenis ini lebih sering ditemukan pada crush injury.
Jika gaya yang menyebabkan kerusakan pada saraf tersebut diangkat pada waktu yang tepat, axon akan melakukan regenerasi, yang akan berlanjut pada penyembuhan. Secara elektris, saraf menunjukkan degenerasi yang cepat dan komplit. Regenerasi dari motor end plate akan terjadi selama tubulus endoneural tetap intak.
Axonotmesis mengalami kehilangan hubungan kontinuitas dari axon dan selubung myelin yang melingkupinya, tapi masih menyisakan jaringan ikat yang merupakan rangka dari saraf (jaringan capsul, epineurium, dan perineurium masih baik). Karena kontinuitas axon terputus, degenerasi Wallerian terjadi. Elektromiografi (EMG) yang dilakukan 2-3 minggu kemudian akan memperlihatkan potensial fibrilasi dan denervasi pada bagian distal otot yang mengalami luka. Kehilangan fungsi motorik dan sensorik lebih tampak jelas pada axonotmosis dari pada yang dapat terlihat pada neurapraxia, dan kesembuhan hanya dapat terjadi melalui regenerasi dari axon, suatu proses yang sangat membutuhkan waktu.
Axonotmesis biasanya terjadi akibat benturan ataupun contussio yang lebih parah dari pada neuropraxia, namun hal ini juga bisa terjadi ketika saraf teregang (tanpa adanya kerusakan epineurium). Disini biasanya ditemukan elemen dari degenerasi retrograde proximal dari axon, dan agar regenerasi terjadi, hal tersebut harus telah dilewati terlebih dahulu. Jaringan yang mengalami regenerasi harus melewati tempat injuri dan melakukan regenerasi melalui proximal atau retrograde dari area degenerasi yang membutuhkan waktu beberapa minggu. Regenerasi kemudian akan berlanjut ke bagian distal, seperti di pergelangan ataupun jari-jari. Lesi proximal dapat tumbuh ke distal kira-kira 2-3 mm per hari dan lesi distal kira-kira 1,5 mm per hari. Regenerasi dapat berjalan berminggu-minggu hingga bertahun-tahun.
c. Cedera derajat tiga
Tingkatan ketiga yang diajukan oleh Sunderland adalah cedera intrafascicular yang melibatkan gangguan dari akson serta tabung endoneurialnya (lamina basal sel Schwann). Perineurium terhindar dan karenanya arsitektur fascicular saraf tersebut dapat dipertahankan. Degenerasi retrograde parah, dan beberapa sel saraf tubuh hilang, mengurangi jumlah akson yang tersedia untuk regenerasi. Fibrosis intrafascicular (scar), yang merupakan akibat dari pendarahan, edema, dan iskemia, menjadi penghalang untuk regenerasi aksonal. Oleh karena itu, pemulihannya tidak lengkap. Regenerasi akson terbatas dalam fasciculi asli, tetapi tidak lagi terbatas dalam tabung endoneurial aslinya. Oleh karena itu, pertumbuhan yang salah arah dapat terjadi: misalnya akson sensorik mungkin melakukan regenerasi sepanjang tabung motorik. Cedera proksimal lebih cenderung mengakibatkan kematian sel saraf dan dalam proporsi yang signifikan untuk akson yang salah arah. Pemulihan setelah tingkat tiga cedera saraf sangat tertunda. Tampilan luar saraf tidak akan secara akurat mencerminkan tingkat parahnya gangguan intrafascicular dan disorganisasinya.
d. Cedera derajat empat
Ini merupakan cedera yang parah menurut Sunderland yang melibatkan pecahnya perineurium dan dengan demikian fasciculi terganggu. Badan sel saraf masih dalam kontinuitas, tetapi dikonversi di tempat cedera menjadi bekas luka padat yang mengandung sel-sel Schwann dan akson yang mengalami regenerasi, yang bila membesar membentuk sebuah neuroma. Efek retrograd lebih parah daripada di cedera tingkat tiga, sehingga akson bahkan lebih sedikit yang bertahan untuk regenerasi. Akson yang mengalami regenerasi tidak lagi terbatas dalam fasciculi, dan banyak tersasar ke jaringan interfascicular sekitarnya. Beberapa akson dapat mencapai target yang sesuai. Pemulihan fungsional, jika ada, biasanya sangat terbatas. Tingkat keempat cedera memerlukan eksisi bedah.
e. Cedera derajat lima atau Neurotmesis
Tingkatan ini merupakan yang paling parah dari cedera saraf yang melibatkan hilangnya kontinuitas badan sel saraf. Saraf yang putus mungkin tetap terpisah, atau mungkin bergabung dengan jaringan parut yang terdiri dari fibroblast, sel Schwann, dan regenerasi akson. Luasnya jaringan parut bervariasi. Regenerasi sangat terbatas, dan secara fungsional dapat diabaikan. Bahkan dengan reseksi dan perbaikan saraf, hambatan yang signifikan terhadap pemulihan tetap penuh. Ini termasuk kehilangan akson akibat efek retrograd dari cedera, dan akson yang salah arah. Kemungkinan pemulihan dapat ditingkatkan oleh tindakan bedah yang sesuai.
Neurotmesis ini dapat terjadi pada contussio hebat, regangan, laserasi, atau toksisitas dari anestesi lokal. Bukan hanya akson, tapi jaringan ikat yang menyelubunginya juga kehilangan kontinuitas. Derajat dari neurotmesis yang paling parah disebut transsection, namun jejas neurotmesis pada umumnya tidak menghasilkan hilangnya kontinuitas jaringan masif, tapi lebih kepada kerusakan pada arsitektur internal dari saraf itu sendiri, termasuk perineurium dan endoneurium, axon dan selubungnya. Perubahan denervasi yang tercatat pada EMG sama seperti yang terlihat pada cedera axonotmesis. Terdapat kehilangan fungsi komplit pada motorik, sensorik dan autonom. Karena tipe ini adalah tipe yang paling parah, penyembuhan tidak mungkin terjadi tanpa dilakukannya bedah saraf.
Gambar 1. Grafik yang menggambarkan tingkatan cedera saraf menurut Sunderland dan Seddon. Gradasi di kedua sistem berhubungan dengan anatomi tingkat cedera dan dengan peluang pemulihan fungsi spontan setelah trauma.5
2.3 Neuroregenerasi
Neuroregenerasi merujuk kepada pertumbuhan kembali atau kesembuhan dari jaringan saraf, sel, atau produk dari sel. Mekanisme yang terjadi adalah remielinisasi , pembentukan ulang neuron, glia, akson, myelin atau sinaps. Neuro regenerasi berbeda antara jaringan saraf perifer (PNS) dan sistem saraf pusat (CNS) pada mekanisme fungsionalnya, dan terutama pada kecepatan dan perkembangannya.1
Setelah cedera saraf pensinyalan karena cedera yang disebabkan potensi aksonal, memungkinkan sel tubuh untuk merespon trauma. Sinyal cedera penting terdiri dari pembawa mikrotubulus-dependent aksonal dari mitogen-activated protein kinase (MAPK) termasuk Erk dan JNK, dan respon lokal sitokin LIF, IL-6 dan CNTF yang menyebabkan aktivasi dari jalur JAKSTAT (Abe dan Cavalli 2008). Perubahan morfologi pada saraf yang terjadi dikenal sebagai chromatolysis atau reaksi akson. Perubahan meliputi pembengkakan sel tubuh, nukleolus membesar, perpindahan dari inti ke pinggiran dan disolusi badan Nissl (Kreutzberg GW 1995). Kromatolisis dijelaskan sebagai suatu perubahan metabolisme neuron yang bertujuan pada peningkatan potensi regeneratif tapi juga dapat menjadi tanda trauma berat dengan kehilangan volume axoplasmic yang besar. Reaksi akson dapat mengakibatkan kelangsungan hidup dan regenerasi saraf atau sebaliknya kematian saraf (Lundborg 2000a).
Kematian neuronal setelah trauma diyakini terjadi akibat respon apoptosis yang terdiri dari jalur dan mediator yang aktif dalam berbagai kondisi neuropathological (Becker dan Bonni 2004). Setelah axotomy, apoptosis mungkin diprakarsai oleh perubahan dalam aktivitas listrik, produk inflamasi neurotoksik dan hilangnya sasaran yang mendapat dukungan neurotrophic (Ambron dan Walters 1996; Fu dan Gordon 1997). Komponen centralnya adalah mitokondria. Mediator Bax pro-apoptosis dan Bcl-2 pro-survival berinteraksi pada tingkat mitokondria dan berperan mengatur permeabilitas membran luar mitokondria (Gillardon et al 1996). Ketika Bax mendominasi atas Bcl-2, pori-pori yang terbentuk di membran mitokondria memungkinkan pelepasan molekul apoptosis (sitokrom-c) ke dalam sitosol, sehingga memicu kaskade caspase. Hal ini berujung pada pengaktifan caspase-3, sebuah effector caspase yang terlibat langsung dalam tindakan proteolitik pada sel, misalnya pencernaan protein struktural dalam sitoplasma dan degradasi kromosom DNA (Becker dan Bonni 2004).
Perubahan seluler yang jelas terjadi di segmen saraf distal dan nodus Ranvier pertama di bagian saraf proksimal. Proses ini disebut degenerasi Wallerian dan melibatkan semua akson, degradasi selubung mielin dan invasi makrofag untuk menghilangkan kotoran. Degenerasi Wallerian menciptakan lingkungan kecil yang menguntungkan regenerasi neuron (Navarro et al 2007). Selama fase awal sebuah regenerasi akson di proksimal membentuk beberapa tunas, rata-rata lima akson, yang mengalami regenerasi ke tabung endoneurial di ujung distal. Jika akson kekurangan struktur pendukung, bersama-sama dengan jaringan ikat, membentuk sebuah neuroma. Regenerasi akson di saraf distal memperbesar diameter dan mencapai ukuran normal ketika membuat hubungan dengan organ target (Sulaiman dan Gordon 2000).
Sel Schwann mempromosikan kelangsungan hidup dan regenerasi oleh peningkatan sintesis permukaan molekul adhesi sel (CAMS), dengan menyediakan membran basal dengan matriks protein laminin ekstraselular dan fibronektin, dan dengan menghasilkan berbagai faktor pertumbuhan (Frostick et al 1998;. Lundborg 2000a; Lundborg dan Rosen 2007). Setelah cedera, sel-sel Schwann di ujung distal berkembang biak dan mengubah fungsi elektrik akson untuk mendukung pertumbuhan untuk regenerasi serat saraf (Fu dan Gordon 1997). Adanya sel Schwann di ujung saraf distal penting untuk regenerasi setelah cedera saraf (Fu dan Gordon 1997).
Pada cedera SSP, misalnya medulla spinalis hasil kerusakan akutnya adalah nekrosis, penyimpangan parah pada elektrokimia sel, edema lokal, demyelination, dan perdarahan jaringan. Fase sekunder dari serangan meliputi konsentrasi sitotoksik dari neurotransmiter glutamat, produksi radikal bebas, apoptosis, peradangan, pembuangan sisa mielin, produksi glial terhadap faktor penghambat regenerasi, dan ekspresi dari sejumlah partikel matriks ekstraseluler (Hulsebosch 2002). Biasanya astrocytes, sel glial utama, menyediakan substrat untuk perpanjangan aksonal dan faktor trofik untuk mendukung oligodendrocytes. 2002). Namun, setelah cedera tulang belakang, astrocytes berproliferasi dan mengeluarkan glikoprotein hambat seperti proteoglikan kondroitin sulfat (CSPG) (Qiu et al 2002). Bila tidak diobati, jaringan liar dari astrocytes akan membentuk bekas luka glial, pembatasan akson terluka secara fisik dari regenerasi. Oligodendrocytes, biasanya sel glial pelindung akson, bereaksi terhadap cedera dengan memproduksi Nogo, mielin associated glikoprotein (MAG), dan oligodendrocyte-asosiated glikoprotein (OMgp), yang ketika terikat pada reseptor Nogo, menekan produksi myelin (Jones et al 2003;. Li et al. 2004). 5
2.4 Faktor yang mempengaruhi regenerasi saraf post injuri
Manajemen terapi terbaru yang dipakai untuk laserasi saraf saat ini bergantung kepada bedah mikro dimana bagian yang terpotong disambung dengan jahitan, atau dengan autologous nerve grafting dimana bagian defek dijembatani oleh jaringan yang berasal dari donor. Bahkan bila saraf yang sudah dilakukan perbaikan dengan baik, hasilnya bisa saja tidak terprediksi dan mengecewakan (Jacquet et.al. 2001 ; Ruijs et al. 2005 ; Lundborg and rosen ; 2007). Beberapa faktor telah diidentifikasi sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhan sel saraf.
Usia muda adalah salah satu faktor utama, dan hal ini bisa dijelaskan karena jarak regenerasinya lebih pendek, kemampuan untuk regenerasi yang lebih besar, dan plastisitas otak. Dari hasil penelitian juga diperoleh bahwa penundaan untuk tindakan bedah bisa berkibat buruk bagi kesembuhan, dengan hasil hilangnya beberapa neuron, fibrosis saraf distal dan atrofi sel Schwann.
Tempat dari injuri juga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap fungsi motorik karena lamanya proses penyembuhan dapat menyebabkan atropi otot yang irreversible. Kerja sama, motivasi yang baik dari pasien, dan terapi spesialis yang benar juga mengambil bagian dari proses penyembuhan. Komponen penting dari motoris nomal adalah kemampuan propioseptif yang baik. Dengan demikian kemampuan sensoris yang baik juga merupakan faktor untuk perbaikan kemampuan motoris. Teknik-teknik yang ada dalam bedah tidak memberi banyak perbedaan yang significan terhadap hasilnya. Saat ini perhatian utama kembali kepada neurobiologi dengan harapan bagaimana reaksi akson dan degenerasi Wallerian dapat dimodulasi.1
Telah disepakati bahwa neuron mengandalkan faktor neurotrophic untuk bertahan hidup. Faktor pertumbuhan dapat dibagi menjadi neurotrophins (NGF, BDNF, NT-3 dan NT-4 / 5), sitokin neuropoetic (IL-6, LIF dan CNTF) dan sel glial (GDNF, Neurturin, Persephin dan Artemin). Dalam neuron tidak terluka faktor trofik diproduksi oleh organ target dan disampaikan ke neuron dengan transportasi aksonal retrograde. Selama beberapa dekade terakhir, berbagai agen neuroprotective telah diuji baik secara in vitro dan in vivo. Sebagai contoh, perawatan dengan asetil-L-karnitin (Hart et al 2002b;. Wilson et al. 2007), monoamina oksidase inhibitor deprenyl (Hobbenaghi dan Tiraihi 2003), modulator linomide sitokin (Ekstrom et al. 1998) dan tiroksin (Schenker et al 2003).
Setelah cedera pada sistem saraf, terjadi penurunan mitokondria yang bisa menyebabkan oksigen reaktif dan aktivasi kaskade apoptosis. Mengingat peran penting bahwa stres oksidatif berperan dalam mempromosikan kematian saraf, administrasi antioksidan dapat berpotensi menarik sebagai neuroprotective klinis (Merenda dan Bullock 2006).
N-asetilsistein (NAC), suatu senyawa yang mengandung thiol, memiliki berbagai tindakan yang meliputi aktivitas antioksidan, peningkatan tingkat glutasi intraselular, penghambatan proliferasi, dan stimulasi transkripsi (Holdiness 1991; Yan dan Greene 1998; Arakawa dan Ito 2007). Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa NAC dapat menyelamatkan sensorik dan neuron motor dari degenerasi retrograde (Hart et al 2004;. Zhang et al. 2005; Barat et al. 2007b).5
Faktor- faktor lain yang berpengaruh yaitu:
- NOGO terutama Nogo-A , telah diidentifikasi sebagai inhibitor remyelinisasi di SSP, terutama di demyelination mediated autoimun, seperti yang ditemukan pada Eksperimental otoimun Encephalomyelitis (EAE) dan Multiple Sclerosis (MS)., NI-35 faktor yang tidak diharapkan bagi pertumbuhan dari mielin.
- MAG – Myelin Associated Glycoprotein bertindak melalui reseptor NgR2, GT1b NgR1,, p75, Troy dan LINGO1
- OMgp – Oligodendrocyte Myelin glycoprotein
- Ephrin B3 berfungsi melalui reseptor EphA4 dan menghambat remyelinisasi.
- Sema 4D (Semaphorin 4D) berfungsi melalui reseptor PlexinB1 dan menghambat remyelinisasi.
- Sema 3A (Semaphorin 3A) hadir di bekas luka yang terbentuk di sistem saraf pusat dan cedera saraf perifer dan berkontribusi terhadap penghambatan perkembangan dari bekas luka ini.1
2.5 Regenerasi Sistem Saraf Perifer
Neuroregenerasi yang terjadi di PNS terjadi dalam berbagai macam derajat. Ujung akson muncul dari ujung proksimal dan berkembang hingga ke bagian distalnya. Perkembangannya diatur oleh factor kemotaktis yang disekresi oleh sel Schwann.
Jejas pada sistem saraf perifer secara spontan akan memicu migrasi sel fagosit, sel Schwann dan makrofag ke daerah lesi untuk menghancurkan debris seperti jaringan rusak. Ketika akson terputus, ujung yang masih tertinggal di tubuh utama disebut sebagai bagian proksimal, sedangkan yang tidak disebut segmen distal. Setelah jejas, ujung proksimal dari akson akan mengalami pembengkakan dan mengalami degenerasi retrograde, tapi begitu debris di ujungnya di bersihkan, sel saraf akan menumbuhkan kembali akson . Akson proksimal akan terus tumbuh selama badan sel utama tetap intak, dan tetap berhubungan dengan neurolemmosit di endoneurial. Pertumbuhan akson dapat mencapai kecepatan 2 mm pada akson yang kecil dan 5 mm pada saraf yang lebih besar. Segmen distal yang terputus itu selanjutnya akan mengalami degenerasi wallerian dalam beberapa jam setelah terpapar jejas, akson dan myelin akan mengalami degenerasi tapi endoneurium masih tetap ada. Pada tahap yang lebih lanjut, tabung endoneurium yang tertinggal itu akan mengarahkan kembali akson yang baru tumbuh ke target yang benar. Selama degenerasi wallerian, sel Schwann yang teletak di endoneurial akan melindungi dan mempersiapkan tabung endoneurial. Di lain pihak, makrofag dan sel Schwann akan mengeluarkan factor neurotropik yang akan mempercepat pertumbuhan.1
Sel saraf pada sistem saraf pusat, jika mengalami trauma yang menghancurkan, maka tidak dapat diganti baru karena sel tersebut tidak dapat berproliferasi kembali. Akan tetapi jika serat saraf tepi mengalami trauma (luka atau terpotong), sel tersebut akan berusaha memperbaiki, melakukan regenerasi saraf yang rusak dan memperbaharui fungsinya dengan cara menstimulus serangkaian proses metabolisme dan proses struktural (reaksi akson). Reaksi akson dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
- Reaksi lokal (local reaction): reaksi yang terjadi pada tempat traumanya. Ujung yang mengalami trauma mendekat dan menyatu untuk menutup kedua bagian yang terpotong agar sitoplasma akson tidak hilang. Makrofag kemudian datang untuk memakan dan membersihkan daerah yang luka dari debris (kotoran).
- Reaksi anterograde (anterograde reaction): reaksi yang terjadi pada bagian distal dari tempat trauma. Ujung akson menjadi hipertrofi dan berdegenerasi dalam waktu seminggu, sehingga kontak dengan membran pasca-sinaps akan berakhir. Sel Schwann kemudian akan berproliferasi, memfagositasis debris akson terminal yang hancur. Bagian distal akson ini mengalami degenerasi Wallerian yang menyebabkan akson menjadi terpecah-pecah dan sel-sel Schwann berproliferasi dengan cepat yang kemudian akan memakan puing-puing akson dan selubung mielin. Jaringan ikat yang menyelubungi serat saraf tersebut tidak mengalami perubahan. Ruangan yang terdapat di antara jaringan ikat ini kemudian akan terisi oleh sel-sel Schwann/sel neurolema yang berproliferasi secara cepat, yang akan berfungsi sebagai penuntun bagi akson yang baru tumbuh yang bergerak menuju ke bagian postsinaps dengan kecepatan 1 sampai 2 mm per hari. Ada pula akson yang tidak mencapai sasaran yang fungsinya tepat, yaitu ke jaringan parut.
- Reaksi Retrograde: reaksi yang terjadi pada bagian proksimal dari tempat terjadinya trauma. Pada reaksi ini, terjadi kromatolisis yaitu perikarion neuron yang hancur menjadi hipertrofi, badan Nisslnya akan tercerai berai dan inti sel akan bergeser dari tempatnya semula. Setelah 3 minggu bila sel saraf bebas dari trauma baru, badan sel kemudian secara aktif mensintesa ribosom-ribosom bebas, protein dan berbagai molekul-molekul berukuran besar (makromolekul) dan dapat berlangsung selama beberapa bulan. Selama itu, bagian proksimal akson dan selubung mielin yang menyelubunginya akan berdegenerasi. Kemudian beberapa tunas akson akan muncul dari ujung proksimal tersebut, dan berjalan mengisi ruang selubung jaringan ikat dengan dibimbing oleh sel-sel Schwann menuju ke sel sasaran. Tunas yang pertama mencapai sel target akan langsung membentuk sinaps, sementara tunas-tunas yang lain akan berdegenerasi. Proses regenerasi ini berlangsung kira-kira dengan kecepatan 3-4 mm/hari. Sel saraf mempunyai pengaruh tropik (mempengaruhi kehidupan) sel target. Jika sel saraf mati, maka sel-sel lainnya yang merupakan target dari sel saraf tersebut juga akan mengalami atropi dan degenerasi. Proses ini disebut dengan degenerasi transneuron (transneuronal degeneration).6
Gambar 2.
Ilustrasi menunjukkan degenerasi Wallerian dari saraf perifer. Dalam keadaan normal (A) dan setelah cedera (B), sel Schwann menyelaraskan panjang akson membentuk beberapa lapisan mielin. Pembatas antara sel Schwann satu dengan yang lain dikenal sebagai nodus Ranvier. Setelah cedera yang signifikan (C), saraf akan mulai menurun dengan cara anterograde. Akson dan mielin sekitarnya rusak selama proses ini. Mast sel dapat dilihat sebagai makrofag fagositosis yang berinteraksi dengan sel Schwann untuk menghapus sisa-sisa jaringan yang terluka. Degradasi segmen saraf distal yang berlanjut terus (D), di mana hubungan dengan target otot hilang, menyebabkan atrofi otot dan fibrosis. Setelah peristiwa degeneratif yang lengkap (E), yang tersisa adalah kolom dari sel Schwann yang hilang (band dari Büngner). Axon bertunas dengan pertumbuhan seperti ruas jari menggunakan sel Schwann sebagai panduan. Setelah reinervasi (F), akson dewasa yang baru telah terhubung dan sitoarsitektur dan fungsinya telah kembali.5
2.6 Regenerasi Sistem Saraf Pusat
Regenerasi pada SSP sangat-sangat sulit dibandingkan dengan serat saraf perifer, karena SSP tidak mengandung jaringan ikat. Sel saraf yang rusak di dalam SSP akan difagositosis oleh makrofag yang khas yaitu mikroglia. Ruang-ruang yang telah dibersihkan lewat proses fagositosis ini kemudian akan diduduki oleh sel-sel glia yang berproliferasi secara besar-besaran membentuk parut glia (Glial scar). Adanya glial scar ini menghalangi proses perbaikan, sehingga kerusakan sel saraf di dalalm SSP adalah permanen dan tidak dapat diperbaiki.1
Akson yang rusak di SSP tidak dapat beregenerasi (kecuali pada beberapa kasus seperti di hipotalamus, akson tak bermyelin yang mengandung neurotransmitter dopamin dan norepinephrin). Tiga alasan dari ketidakmampuan beregenerasi tersebut adalah:
1. Tunas tidak dapat menembus jaringan scar glia yang terbentuk pada area injuri
2. Tidak adanya lamina basalis pada SSP untuk menuntun regenerasi serabut
3. Oligodendroglia tidak membentuk continuous cord7
Lingkungan di dalam CNS setelah terjadinya trauma, menghambat perbaikan myelin dan neuron. Jaringan parut glia akan segera terbentuk dan glia akan mengeluarkan produk yang menghambat remyelinisasi dan perbaikan akson, seperti NOGO dan NI-35. Akson itu sendiri akan kehilangan kemampuannya untuk tumbuh sejalan dengan waktu karena kekurangan GAP 43.
Degenerasi lambat yang terjadi pada PNS juga mengambil andil dalam terbentuknya lingkungan yang tidak aman terhadap pertumbuhan myelin dan akson karena debris yang ada tidak mampu segera dibersihkan. Hal ini akan membentuk apa yag disebut Glial Scar, dimana pertumbuhan aksos tidak bisa melewatinya. Bagian proksimal dari akson akan berusaha untuk sembuh segera setelah terjadinya trauma, tapi tentu saja terhambat oleh lingkungan yang tidak cocok. Disini penting kita ingat bahwa akson pada CNS sebenarnya telah terbukti untuk mampu tumbuh di lingkungan yang lebih kondusif. Jadi masalah sebenarnya pada regenerasi di CNS adalah bagaimana melewati atau mengeliminasi lokasi lesi.1
2.7 Intervensi Medis dan Penelitian terhadap Regenerasi Sel Saraf
Ada beberapa intervensi medis yang dapat dilakukan yaitu:
1. Pembedahan
Pembedahan dapat dilakukan pada kasus terputusnya saraf perifer. Saraf yang terputus pertama-tama harus diidentifikasi dan dipisahkan dari jaringan normal, agar dapat dilakukan tindakan berikutnya, biasanya menggunakan lup atau mikroskop operasi. Jika yang terluka adalah segmen saraf yang besar, seperti yang biasa terjadi pada luka regang atau remuk, saraf harus terekspos dalam area yang lebih luas. Bagian saraf yang terluka kemudian akan dibuang. Ujung-ujung saraf lalu disambung dengan menggunakan jahitan mikro. Bahagian sambungan harus dititip dengan jaringan sehat, seperti kulit atau otot.
Penggunaan anestesi yang digunakan bergantung pada kompleksitas dari luka. Surgical tourniquet hampir selalu digunakan pada pembedahan. Harapan perbaikan sesudah bedah reparasi saraf perifer bergantung kepada berbagai faktor seperti :
a. Umur : Perbaikan jaringan saraf utamanya bergantung pada umur pasien. Anak-anak dapat sembuh hingga hampir mencapai fungsi normal. Pada pasien dengan umur lebih 60 tahun dengan tangan terpotong hanya dapat berharap untuk mengembalikan sensasi protektif, yaitu kemampuan untuk membedakan panas/dingin dan tajam/tumpul.
b. Mekanisme Injuri : Luka tajam seperti luka karena pisau, hanya melukai sedikit segmen jaringan saraf, sehingga memudahkan untuk dilakukannya jahitan langsung. Di lain pihak luka yang disebabkan karena regangan atau remuk dapat merusak segemen saraf yang lebih panjang. Luka seperti ini lebih sulit dilakukan penanganan dan mempunyai harapan kesembuhan yang lebih kecil. Tambahan lainnya, luka penyerta seperti pada tulang, otot dan kulit dapat membuat proses penyembuhan lebih sulit.
c. Tingkat keparahan luka : Setelah dilakukannya reparasi pada saraf, ujung-ujung saraf harus beregenerasi ke organ target sehingga fungsinya kembali. Penurunan fungsi akan terjadi seiiring bertambahnya jarak yang harus dilewati oleh pertumbuhan jaringan saraf.
2. Autologous nerve grafting
Autologous nerve grafting atau juga disebut nerve autograft, dikenal sebagai gold standar penanganan terhadap reparasi lesi pada PNS dengan jarak yang luas. Sangat penting diingat bahwa perbaikan saraf dalam metode ini tidak boleh dilakukan pada keadaan tegang.
Segmen saraf diambil dari bagian tubuh yang lain (donor) dan dimasukkan ke lesi untuk menyedikan tabung endoneurial bagi regenerasi akson. Walaupun demikian, ini bukanlah suatu terapi yang sempurna, seringnya hasil yang muncul hanya pada kembalinya fungsi secara terbatas. Juga bisa terjadi deiinervasi pada bagian donor, dan harusnya dilakukan pembedahan multiple untuk mengambil jaringan dan mengimplannya.
3. Allograft dan Xenograft
Variasi dari autograft adalah allograft dan xenograft. Pada allograft, jaringan yang diambil berasal dari orang lain, pendonor, dan diimplan kepada resipien. Xenograft dikatakan apabila jaringan yang digunakan berasal dari spesies lain. Allograft dan xenograft mempunyai kerugian yang sama dengan autograft, ditambah dengan rejeksi terhadap jaringan asing. Sering immunosupresi diperlukan pada tindakan graft ini. Allograft dan xenograft tentu saja tidak akan menyamai kualitas yang dihasilkan oleh autograft, tapi hal ini dapat menjadi alternative apabila jaringan autolog susah dilakukan.
4. Nerve Guidance Conduit
Dikarenakan terbatasnya fungsi yang dapat dilakukan dengan autograft, gold standar untuk regenerasi saraf, para peneliti baru-baru ini berfokus pada penelitian untuk menciptakan bioartificial nerve guidance conduit.
5. Immunisation
Arah dari penelitian ini adalah untuk menemukan obat yang menargetkan protein inhibisi remyelinisasi, atau inhibitor atau neurogenerasi lainnya. Mungkin termasuk strategi vaksinasi terhadap protein (imunisasi aktif), atau pengobatan dengan menciptakan antibodi sebelumnya (imunisasi pasif). Strategi ini muncul menjanjikan pada model hewan eksperimental dengan Encephalomyelitis autoimun (EAE), model MS. Antibodi monoklonal juga telah digunakan untuk melawan faktor-faktor penghambat seperti NI-35 dan Nogo.1
Beberapa penelitian terhadap regenerasi sel saraf yaitu:
1. Stem cell
Pada penyakit stroke dahulu dianggap bahwa kematian sel yang terjadi akan menyebabkan terjadinya kecacatan permanen akibat sel otak tak mempunyai kemampuan regenerasi. Anggapan ini berubah setelah para ahli mengetahui adanya plastisitas pada sel-sel otak dan pengetahuan tentang stem cells.8
Sel punca (Stem cell) adalah sel yang tidak/belum terspesialisasi yang mempunyai kemampuan/potensi untuk berkembang menjadi berbagai jenis sel-sel yang spesifik yang membentuk berbagai jaringan tubuh.
Sel punca mempunyai 2 sifat yang khas yaitu
1. Differensiasi (Differentiate) yaitu kemampuan untuk berkembang menjadi sel lain. Sel punca mampu berkembang menjadi berbagai jenis sel yang khas (spesifik) misalnya sel saraf, sel otot jantung, sel otot rangka, sel pankreas dan lain-lain
2. Regenerasi (Self regenerate/self renew) yaitu kemampuan untuk memperbaharui atau meregenerasi dirinya sendiri. Sel punca mampu membuat salinan sel yang persis sama dengan dirinya melalui pembelahan sel.9
Pada penelitian penyakit stroke dengan menggunakan stem cells dari darah tali pusat manusia yang diberikan intra vena kepada tikus yang arteri serebri medianya dioklusi menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pada penelitian ini didapatkan pemulihan kembali fungsi normal otak sebesar 70% pada kelompok yang mendapatkan transplantasi stem cells dari darah tali pusat manusia.
Penelitian dengan menggunakan mesenchymal stem cells (MSC) dari sumsum tulang autolog yang diberikan intra vena pada 30 penderita stroke juga memperbaiki outcome yang dinilai dari parameter Barthel Index dan Modified Rankin Scale. Mesenchymal stem cells pada penelitian ini diperoleh dari aspirasi sumsum tulang. Setelah disuntikkan perifer, MSC akan melintas sawar darah otak pada daerah otak yang rusak. Pemberian MSC intravenous akan mengurangi terjadinya apoptosis dan menyebabkan proliferasi sel endogen setelah terjadinya stroke.8
2. Gen
Ilmuwan dari Universitas Utah mengidentifikasi gen pada cacing yang sangat penting bagi sel-sel saraf yang rusak untuk regenerasi, dan mereka bisa menunjukkan kecepatan regenerasi saraf oleh aktivasi gen tersebut sehingga merupakan satu langkah ke arah perawatan baru untuk trauma saraf. Anehnya, gen dan jalur "istimewa" tidak diperlukan untuk perkembangan saraf normal pada embrio.
Inti dari rantai peristiwa ini melibatkan empat gen. Yang paling penting adalah dlk-1 yang dikenal sebagai kinase "MAP kinase kinase" atau MAPKKK. Ketika para ilmuwan Utah "mengekspresikan" gen dlk-1 pada cacing membuatnya menjadi lebih aktif daripada biasanya dan saraf rusak pada cacing mengalami regenerasi jauh lebih cepat dari yang diharapkan. Ketika dlk-1 telah diblokir, regenerasi tidak terjadi.10
Inti dari rantai peristiwa ini melibatkan empat gen. Yang paling penting adalah dlk-1 yang dikenal sebagai kinase "MAP kinase kinase" atau MAPKKK. Ketika para ilmuwan Utah "mengekspresikan" gen dlk-1 pada cacing membuatnya menjadi lebih aktif daripada biasanya dan saraf rusak pada cacing mengalami regenerasi jauh lebih cepat dari yang diharapkan. Ketika dlk-1 telah diblokir, regenerasi tidak terjadi.10
BAB III
PENUTUP
Cedera sistem saraf mempengaruhi lebih dari 90.000 orang setiap tahun. Seddon mendeskripsikan adanya tiga macam cedera yaitu: neuropraksia, axonotmesis dan neurotmesis. Klasifikasi Sunderland mengklasifikasikan tiga tipe cedera oleh Seddon menjadi lima kategori menurut tingkat keparahannya. Cedera grade pertama sesuai dengan neuropraxia dan cedera grade kedua sesuai dengan axonotmesis. Cedera grade ketiga terjadi ketika ada disrupsi axon (axonotmesis) dan juga cedera parsial endoneurium. Kategori cedera grade ketiga terletak antara axonotmesis dengan neurotmesis. Tergantung pada luasnya kerusakan endoneurium, pemulihan fungsional masih memungkinkan. Sunderland membagi neurotmesis menjadi cedera grade empat dan lima. Pada cedera grade empat, semua bagian saraf telah terkena kecuali epineurium. Pemulihan tidak mungkin tanpa tindakan bedah. Sedangkan cedera grade lima meliputi cedera semua bagian sel saraf dan merupakan yang paling parah.
Neuroregenerasi merujuk kepada pertumbuhan kembali atau kesembuhan dari jaringan saraf, sel, atau produk dari sel. Mekanisme yang terjadi adalah remielinisasi , pembentukan ulang neuron, glia, akson, myelin atau sinaps. Neuro regenerasi berbeda antara jaringan saraf perifer (PNS) dan sistem saraf pusat (CNS) pada mekanisme fungsionalnya, dan terutama pada kecepatan dan perkembangannya.
BAHAN SELENGKAPNYA DAN DAFTAR PUSTAKA SILAHKAN DOWNLOAD DIBAWAH
Password: kuliahitukeren.blogspot.com
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------