Tampilkan postingan dengan label ILMU TANAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ILMU TANAH. Tampilkan semua postingan

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM BIDANG PERTANIAN

Pilihan untuk melakukan revitalisasi sektor adalah pilihan yang sangat tepat untuk saat ini. Hal ini dapat dilihat dari besarnya sumbangan yang telah diberikan oleh sektor pertanian dalam pembangunan nasional. Revitalisasi juga mengandung pengertian bahwa sektor pertanian pernah sangat vital, namun kini kurang mendapatkan perhatian dan prioritas sebagaimana mestinya sehingga sumbangan yang diberikan kurang optimal.  Sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan yang baik akan terwujud jika didukung oleh sistem perencanaan yang akurat dan terukur. Oleh karena itu semua faktor yang mempengaruhi pembangunan pertanian yang berkelanjutan,baik itu faktor pendukung maupun faktor pembatas harus dipikirkan sejak awal dan dituangkan dalam produk database dan peta pembangunan pertanian.  
Lahan yang luas dan subur dengan kualitas sumberdaya manusia yang berpikiran maju merupakan salah satu faktor pendukung utama. Namun demikian dengan kondisi lahan yang terbatas dan kemampuan lahan tidak merata, maka pengembangan pertanian yang berkelanjutan harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Sedangkan faktor pembatas yang sering ditemui adalah kurangnya informasi dan data yang akurat tentang kondisi sumber daya alam, dimana data dan informasi merupakan instrumen yang sangat penting dalam perencanaan pembangunan.
Perkembangan penggunaan sumberdaya alam lahan sampai saat ini belum memberikan kontribusi yang nyata dalam meningkatkan produksi tanaman. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lahan yang bervariasi berdasarkan letak georafis dan topografinya, yang masing-masing mempengaruhi produktifitas tanaman. Diperlukan perencanaan yang matang dalam mengambil keputusan jenis tanaman yang akan ditanam. Perencanaan dan pengambilan keputusan harus dilandasi oleh data dan informasi yang akurat tentang kondisi lahan.
Penggunaan teknologi berbasi komputer untuk mendukung perencanaan tersebut mutlak digunakan untuk menganalisis, memanipulasi dan menyajikan informasi. Salah satu teknologi tersebut adalah Sistem Informasi Geografi (SIG) yang mempunyai kemampuan membuat model yang memberikan gambaran, penjelasan dan perkiraan dari suatu kondisi faktual. Untuk mendapatkan model, gambaran dan informasi tentang komoditas yang cocok untuk ditanam, maka dilakukan pembuatan peta dan analisis kesesuaian lahan dengan menggunakan metode SIG.
Pembuatan peta dan analisis kesesuaian lahan ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi kesesuaian lahan dan menyajikan data dan informasi yang akurat, obyektif dan lengkap sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan kebijaksanaan. Selain itu juga bertujuan untuk mendorong peningkatan produktifitas sektor pertanian sesuai dengan kemampuan dan daya dukung lahan.
Informasi dari analisis kesesuaian lahan ini diharapkan akan memberikan manfaat antara lain sebagai berikut:
1.      Memberikan pedoman dan arahan bagi petani untuk memilih komoditas yang sesuai sehingga kegagalan panen dapat dihindari.
2.       Tersedianya informasi yang cukup bagi para penyuluh di lapangan.
3.      Sebagai bahan acuan dan referensi dalam membuat perencanaan di wilayah kerja masing-masing.
4.      Sebagai pemandu bagi instansi yang berwenang dalam menentukan kebijakan.
Sistem Informasi Geografi (SIG) dapat digunakan untuk membantu mengelola sumberdaya pertanian, seperti luas kawasan untuk tanaman, pepohonan saluran air. Selain itu SIG juga dapat digunakan untuk menetapkan masa panen, mengembangkan sistem rotasi tanam dan melakukan perhitungan secara tahunan terhadap kerusakan tanah yang terjadi karena perbedaan pembibitan, penanaman atau teknik yang digunakan dalam masa panen.
Analisa tanah untuk kesesuaian lahan dilakukan untuk mendapatkan alternative berbagai tanaman yang sesuai dengan kondisi bentang lahan dan jenis tanah yang terdapat dalam areal kerja tersebut. Analisi ini dilakukan dengan cara mencocokan antara kebutuhan tanaman untuk hidup dengan data kondisi tempat yang akan ditanami. Hasil analisis tanah dan faktor iklim disesuaikan dengan persyaratan tumbuh suatu jenis tanaman.
Data-data hasil analisis tanah di atas dimasukkan ke dalam data base peta sebagai atribut peta yaitu sifat tanah, sifat kimia tanah dan jenis komoditas yang paling cocok. Masing-masing peta tematik dengan atributnya ditumpang tindihkan sehingga diperoleh peta kesesuaian lahan (sangat tidak cocok, kurang cocok, cocok, sangat cocok).  



Mengelola Produksi Tanaman
GIS dapat digunakan untuk membantu mengelola sumberdaya pertanian dan perkebunan seperti luas kawasan untuk tanaman, pepohonan, atau saluran air. Anda dapat menggunakan GIS untuk menetapkan masa panen, mengembangkan sistem rotasi tanam, dan melakukan perhitungan secara tahunan terhadap kerusakan tanah yang terjadi karena perbedaan pembibitan, penanaman, atau teknik yang digunakan dalam masa panen.Misalny GIS membantu menginventarisasi data-data lahan perkebunan tebu menjadi lebih cepat dianalisis. Proses pengolahan tanah, proses pembibitan, proses penanaman, proses perlindungan dari hama dan penyakit tananan dapat dikelola oleh manager kebun, bahkan dapat dipantau dari direksi.
Mengelola Sistem Irigasi
GIS juga dapat digunakan untuk membantu memantau dan mengendalikan irigasi dari tanah-tanah pertanian. GIS dapat membantu memantau kapasitas sistem, katup-katup, efisiensi, serta distribusi menyeluruh dari air di dalam sistem.

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK TANAMAN PERTANIAN

Oleh:

Hastin Ernawati Nur Chusnul Chotimah

PENDAHULUAN

Gambut terbentuk dari seresah organik yang terdekomposisi secara anaerobik dimana laju penambahan bahan organik lebih tinggi daripada laju dekomposisinya. Di dataran rendah dan daerah pantai, mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan seresah tanaman yang semakin bertambah menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome) . Gambut ombrogen di Indonesia terbentuk dari seresah vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun, sehingga status keharaannya rendah dan mempunyai kandungan kayu yang tinggi (Radjagukguk, 1990).
Di daerah tropis, penggunaan lahan gambut dimulai pada tahun 1900-an. Penebangan hutan, pembakaran dan pengatusan lahan dilakukan untuk tujuan pertanian dan pemukiman. Untuk tujuan perdagangan, 150.000 km2 per tahun dari lahan gambut dibuka dan diambil hasil kayunya, sedangkan di beberapa negara gambut digunakan sebagai energi sumber panas (Anonim, 2002). Hal ini tentu saja akan memberikan dampak yang sangat kuat bagi penurunan stabilitas gambut.
Di Asia Tenggara terdapat 70% dari total gambut tropik dunia terutama di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia lahan gambut tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Tidak seluruh lahan ini bisa dikembangkan, tetapi diperkirakan masih mungkin untuk dimanfaatkan seluas 5,6 juta hektar (Subagyo et al, 1996).
Sejalan dengan pertambahan penduduk dan keterbatasan lahan pertanian menyebabkan pilihan diarahkan pada lahan gambut baik untuk kepentingan pertanian maupun untuk pemukiman penduduk. Penggunaan lahan gambut untuk pertanian dengan semestinya dan  efisien akan memberikan sumbangan bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dengan kata lain, pemanfaatan lahan gambut yang dengan tidak semestinya akan menyebabkan kehilangan salah satu sumber daya yang berharga, dikarenakan lahan gambut merupakan lahan marginal dan merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Ardjakusuma et al, (2001) melaporkan bahwa di Kalimantan Tengah banyak dijumpai lahan bongkor yaitu  lahan gambut yang terdegradasi (rusak) dan dibiarkan/ditinggalkan oleh pengelolanya, sehingga menjadi lahan tidur sebagai akibat pembukaan lahan gambut pada masa Pelita I.
Pemanfaatan gambut dan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan pertanian berkembang cukup pesat. Berbagai tanaman semusim dan tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada lahan gambut tetapi yang paling berhasil atau menunjukkan harapan adalah tanaman sayuran, tanaman buah-buahan (seperti nanas, pepaya dan rambutan) dan tanaman perkebunan (terutama kelapa, kelapa sawit, kopi dan karet).
Pengembangan pertanian pada lahan gambut menghadapi banyak kendala yang berkaitan dengan sifat tanah gambut. Menurut Soepardi (1979) dalam Mawardi et al, (2001), secara umum sifat kimia tanah gambut didominasi oleh asam-asam organik yang merupakan suatu hasil akumulasi sisa-sisa tanaman. Asam organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi tersebut merupakan bahan yang bersifat toksid bagi tanaman, sehingga mengganggu proses metabolisme tanaman yang akan berakibat langsung terhadap produktifitasnya. Sementara itu secara fisik tanah gambut bersifat lebih berpori dibandingkan tanah mineral sehingga hal ini akan mengakibatkan cepatnya pergerakan air pada gambut yang belum terdekomposisi dengan sempurna sehingga jumlah air yang tersedia bagi tanaman sangat terbatas.

LAHAN GAMBUT

Penyebaran Lahan Gambut

Lahan gambut mempunyai penyebaran di lahan rawa, yaitu lahan yang menempati posisi peralihan diantara daratan dan sistem perairan. Lahan ini sepanjang tahun/selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air (water logged) atau tergenang air. Tanah gambut terdapat di cekungan, depresi atau bagian-bagian terendah di pelimbahan dan menyebar di dataran rendah sampai tinggi. Yang paling dominan dan sangat luas adalah lahan gambut yang terdapat di lahan rawa di dataran rendah sepanjang pantai. Lahan gambut sangat luas umumnya menempati depresi luas yang menyebar diantara aliran bawah sungai besar dekat muara, dimana gerakan naik turunnya air tanah dipengaruhi pasang surut harian air laut.
Penyebaran lahan gambut secara dominan terdapat di pantai timur pulau Sumatera, pantai barat dan selatan pulau Kalimantan dan pantai selatan dan utara pulau Irian Jaya. Penyebaran dan data luas gambut di Indonesia yang lebih pasti dan akurat belum dapat dipastikan. Terkecuali Sumatera yang gambutnya secara relatif telah banyak diteliti selama berlangsungnya Proyek Pembukaan Pasang Surut 1969-1984 (Subagyo, et al, 1996).
Luas lahan rawa yang terdiri tanah gambut dan tanah mineral (non-gambut) di Indonesia diperkirakan seluas 39,4-39,5 juta hektar, yakni kurang lebih seperlima (19,8 %) luas daratan Indonesia. Dari luasan tersebut tanah gambut terdapat sekitar 13,5-18,4 juta hektar atau rata-rata 16,1 juta hektar.
Berdasarkan tingkat kesuburan alami, gambut dibagi dalam 3 kelompok yakni eutrofik (kandungan mineral tinggi, reaksi gambut netral atau alkalin), oligotrofik (kandungan mineral, terutama Ca rendah dan reaksi masam) dan mesotrofik ( terletak diantara keduanya dengan pH sekitar 5, kandungan basa sedang). Ketebalan atau kedalaman gambut juga menentukan tingkat kesuburan alami dan potensi kesesuaiannya untuk tanaman. Widjaja-Adhi,   et al, (1992) dan Subagyo, et al, (1996) membagi gambut dalam 4 kelas, yaitu dangkal (50-100 cm), agak dalam (100-200 cm), dalam (200-300 cm) dan sangat dalam (lebih dari 300 cm).
Berdasarkan lingkungan tumbuh dan pengendapannya gambut di Indonesia dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu (1) gambut ombrogenous, dimana kandungan airnya hanya berasal dari air hujan. Gambut jenis ini dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk yang semasa hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kadar abunya adalah asli (inherent) dari tumbuhnya itu sendiri (2) gambut topogenous, dimana kandungan airnya hanya berasal dari air permukaan. Jenis gambut ini diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuh dari pengaruh elemen yang terbawa oleh air permukaan tersebut. Daerah gambut topogenous lebih bermanfaat untuk lahan pertanian dibandingkan dengan gambut ombrogenous, karena gambut topogenous mengandung relatif lebih banyak unsur hara (Rismunandar, 2001).
Sifat-sifat Tanah Gambut
Diantara sifat inheren yang penting dari tanah gambut di daerah tropis adalah : bahan penyusun berasal dari kayu-kayuan, dalam keadaan tergenang, sifat menyusut dan subsidence ( penurunan permukaan gambut) karena drainase, kering tidak balik, pH yang sangat rendah dan status kesuburan tanah yang rendah. Pengembangan usaha pertanian sangat dibatasi oleh beberapa hal di atas (Andriesse, 1988).
A. Sifat Fisik
Gambut tropis umumnya berwarna coklat kemerahan hingga coklat tua (gelap) tergantung tahapan dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air 15-30 kali dari berat kering, rendahnya bulk density (0,05-0,4 g/cm3) dan porositas total diantara 75-95% menyebabkan terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas yang akan diusahakan (Ambak dan Melling, 2000)
Sebagai contoh di Malaysia, tiga komoditas utama yaitu kelapa sawit, karet dan kelapa cenderung pertumbuhannya miring bahkan  ambruk sebagai akibat akar tidak mempunyai tumpuan tanah yang kuat (Singh et al, 1986).
Sifat lain yang merugikan adalah apabila gambut mengalami pengeringan yang berlebihan sehingga koloid gambut menjadi rusak. Terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying) dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air (Subagyo et al, 1996). Gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu pengeringan dan ini mengakibatkan gambut mudah terbakar.
B. Sifat-sifat Kimia
Ketebalan horison organik, sifat subsoil dan frekuensi luapan air sungai mempengaruhi komposisi kimia gambut. Pada tanah gambut yang sering mendapat luapan, semakin banyak kandungan mineral tanah sehingga relatif lebih subur.
Tanah gambut tropis mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih dari 90%. Secara kimiawi gambut bereaksi masam (pH di bawah 4) Andriesse (1988). Gambut dangkal pH lebih tinggi (4,0-5,1), gambut dalam (3,1-3,9). Kandungan N total tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi. Kandungan unsur mikro khususnya Cu, B dan Zn sangat rendah ( Subagyo et al, 1996).
Di Malaysia, pH gambut berkisar antara 3,2 – 4,9 sedangkan di pantai timur Sumatera berkisar 3,42 – 4,3. Gambut yang berkembang disepanjang pantai timur Sumatera mempunyai sifat-sifat : gambut dalam (lebih dari 4 m) dengan status hara kahat N, P, K, Mg, Ca, Zn dan B berada dalam keadaan cukup, sedangkan faktor pembatas utama pada lahan gambut adalah tidak tersedianya unsur Cu bagi tanaman (Sudradjat dan Qusairi, 1992).
PERTANIAN BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT
Dalam istilah yang tepat, konsep pertanian berkelanjutan pada lahan gambut sebenarnya bukan merupakan istilah yang tepat dikarenakan adanya daya menyusut dan adanya subsidence selama penggunaannya untuk usaha pertanian. Akan tetapi, hal tersebut bisa dikurangi dalam arti memperpanjang  ‘life span’  dengan meminimalkan tingkat subsidence dengan cara mengadopsi beberapa strategi pengelolaan yang benar mengenai air, tanah dan tanaman.
Pengelolaan air
1. Drainase
Drainase merupakan prasyarat untuk usaha pertanian, walaupun hal tersebut bukanlah suatu yang mudah untuk dilakukan mengingat sifat dari gambut yang bisa mengalami penyusutan dan kering tidak balik akibat drainase, sehingga sebelum mereklamasi lahan gambut perlu diketahui sifat spesifik gambut, peranan dan fungsinya bagi lingkungan.
Drainase yang baik untuk pertanian gambut adalah drainase yang tetap mempertahankan batas air kritis gambut akan tetapi tetap tidak mengakibatkan kerugian pada tanaman yang akan berakibat pada hasil. Intensitas drainase bervariasi tergantung kondisi alami tanah dan curah hujan. Curah hujan yang tinggi  (4000-5000 mm per tahun)(Ambak dan Melling, 2000) membutuhkan sistem drainase untuk meminimalkan pengaruh banjir.
Setelah drainase dan pembukaan lahan gambut, umumnya terjadi subsidence yang relatif cepat yang akan berakibat menurunya permukaan tanah. Subsidence dan dekomposisi bahan organik dapat menimbulkan masalah apabila bahan mineral di bawah lapis gambut terdiri dari lempeng pirit atau pasir kuarsa. Kerapatan lindak yang rendah berakibat kemampuan menahan (bearing capacity) tanah gambut juga rendah, sehingga pengolahan tanah sulit dilakukan secara mekanis atau dengan ternak. Kemampuan menahan yang rendah juga juga merupakan masalah bagi untuk tanaman pohon-pohonan atau tanaman semusim yang rentan terhadap kerebahan (lodging) (Radjagukguk, 1990).
Bagi tanaman perkebunan, usaha perbaikan drainase dilakukan dengan pembuatan kanal primer, kanal sekunder dan kanal tersier. Hasil penelitian sementara di PT. RSUP menunjukkan bahwa kelapa hybrida PB 121 pada umur 4 tahun (4-5 tahun setelah tanam adalah 1,5 ton kopra/ha). Angka ini sementara 5 kali lebih besar dari hasil yang dicapai di negara asalnya Afrika dimana PB 121 pada umur 4 tahun menghasilkan 0,26 ton kopral/ha (Thampan, 1981 dalam Sudradjat dan Qusairi, 1992).
2. Irigasi
Ketika batas kritis air dapat dikontrol pada level optimum untuk pertumbuhan tanaman, pengelolan air bukan merupakan suatu masalah kecuali pada tahap awal pertumbuhan tanaman. Jika batas kritis air tidak dapat terkontrol dan lebih rendah dari kebutuhan air semestinya, irigasi perlu dilakukan terutama bagi tanaman tertentu. Hal ini penting untuk memasok kebutuhan air tanaman dan menghindari sifat kering tidak balik. Sayuran berdaun banyak, menunjukkan layu pada keadaan udara panas. Kondisi ini mungkin merupakan pengaruh dari dangkalnya profil tanah yang dapat dicapai oleh akar tanaman dan kehilangan air akibat transpirasi yang lebih cepat daripada tanah mineral (Ambak dan Melling, 2000).
Tanaman mempunyai tahapan pertumbuhan yang sensitif terhadap stress air yang berbeda. Pengetahuan tentang tahapan tersebut akan mempermudah irigasi pada saat yang tepat sehingga mengurangi terjadinya stress air dan penggunaan air yang optimum. Untuk penanaman tanaman semusim, pengaturan irigasi harus mempertimbangkan saat dan kebutuhan tanaman dan disesuaikan dengan ketersediaan air tanah diatas water table, jumlah air hujan, distribusi dan jumlah evapotranspirasi (Lucas,1982)..

Tabel 1. Daftar kebutuhan air tanaman yang diusahakan di lahan gambut
Tanaman
Kebutuhan air (cm)
Sumber
Kelapa Sawit
50-75
Singh et al (1986)
Nanas
60-90
Tay (1980); Zahari et al (1989)
Sagu
20-40
Melling et al, 1998
Cassava
15-30
Tan dan Ambak (1989); Zahari et al, (1989)
Kacang Tanah
65-85
Ambak et al, (1992)
Kedelai
25-45
Ambak et al (opcit)
Jagung
75
Ambak et al, (opcit)
Ubi jalar
25
Ambak et al, (opcit)
Asparagus
25
Ambak et al, (opcit)
Sayuran
30-60
Leong dan Ambak, (1987)
Sumber : Ambak dan Melling (2000)
3. Penggenangan
Untuk meminimalkan terjadinya subsidence, langkah yang bisa dilakukan adalah tetap mempertahankan kondisi tergenang tersebut dengan mengadopsi tanaman-tanaman sejenis hidrofilik atau tanaman toleran air yang memberikan nilai ekonomi seperti halnya Eleocharis tuberosa, bayam cina (Amaranthus hybridus), kangkung (Ipomoea aquatica) dan seledri air. Di Florida ketika  tanaman tertentu tidak bisa dibudidayakan karena perubahan  musim, penggenangan dilakukan dan digunakan untuk budidaya tanaman air tersebut (Ambak dan Melling, 2000).
Pengelolaan Tanah
Tanah gambut sebenarnya merupakan tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman bila ditinjau dari jumlah pori-pori yang berkaitan dengan pertukaran oksigen untuk pertumbuhan akar tanaman. Kapasitas memegang air yang tinggi daripada tanah mineral menyebabkan tanaman bisa berkembang lebih cepat. Akan tetapi dengan keberadaan sifat inheren yang lain seperti kemasaman yang tinggi, kejenuhan basa yang rendah dan miskin unsur hara baik mikro maupun makro menyebabkan tanah gambut digolongkan sebagai tanah marginal (Limin et al, 2000). Untuk itulah perlunya usaha untuk mengelola tanah tersebut dengan semestinya.
1. Pembakaran
Pembakaran merupakan cara tradisional yang sering dilakukan petani untuk menurunkan tingkat kemasaman tanah gambut. Terjadinya pembakaran bahan organik menjadi abu berakibat penghancuran tanah serta menurunkan permukaan tanah. Pembakaran berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman pada tahun pertama dan meningkatkan serapan P tanaman, namun akan menurunkan serapan Ca dan Mg (Mawardi et al, 2001).
2. Bahan pembenah tanah
Pemberian pupuk dan amandemen dalam komposisi dan takaran yang tepat dapat mengatasi masalah keharaan dan kemasaman tanah gambut. Unsur hara yang umumnya perlu ditambahkan dalam bentuk pupuk adalah N, P, K, Ca, Mg serta sejumlah unsur hara mikro terutama Cu, Zn dan Mo. Pemberian Cu diduga lebih efektif melalui daun (foliar spray) karena sifat sematannya yang sangat kuat pada gambut, kurang mobil dalam tanaman dan kelarutan yang menurun ketika terjadi peningkatan pH akibat penggenangan. Sebagai amandemen, abu hasil pembakaran gambut itu sendiri akan berpengaruh menurunkan kemasaman tanah, memasok unsur hara dan mempercepat pembentukan lapis olah yang lebih baik sifat fisikanya (Radjagukguk, 1990).
Di Sumatera Barat ditemukan bahan amelioran baru Harzburgite yang defositnya cukup besar dan kandungan Mg yang tinggi (27,21 – 32,07% MgO) yang merupakan bahan potensial  untuk ameliorasi lahan gambut (Mawardi et al, 2001).
Pupuk kandang khususnya kotoran ayam dibandingkan dengan kotoran ternak yang lainnya mengandung beberapa unsur hara makro dan mikro tertentu dalam jumlah yang banyak. Kejenuhan basanya tinggi, tetapi kapasitas tukar kation rendah. Kotoran ayam, dalam melepaskan haranya berlangsung secara bertahap dan lama. Tampaknya, pemberian kotoran ayam memungkinkan untuk memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah gambut. Pada jagung manis, pemberian kotoran ayam sampai 14 ton/ha pada tanah gambut pedalaman bereng bengkel dapat meningkatkan jumlah tongkol (Limin, 1992 dalam Darung et al, 2001).

PROSPEK UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN
Potensi pengembangan pertanian pada lahan gambut, disamping faktor kesuburan alami gambut juga sangat ditentukan oleh tingkat manajemen usaha tani yang akan diterapkan. Pada pengelolaan lahan gambut pada tingkat petani, dengan pengelolaan usaha tani termasuk tingkat rendah (low inputs) sampai sedang (medium inputs), akan berbeda dengan produktivitas lahan dengan tingkat manajemen tinggi yang dikerjakan oleh swasta atau perusahaan besar (Subagyo et al, 1996)
Dengan manajemen tingkat sedang (Abdurachman dan Suriadikarta, 2000), yaitu perbaikan tanah dengan penggunaan input yang terjangkau oleh petani seperti pengolahan tanah, tata air mikro, pemupukan, pengapuran dan pemberantasan hama dan penyakit, potensi pengembangan lahan gambut untuk pertanian adalah sebagai berikut :
Pemilihan jenis tanaman
1. Padi sawah
Budidaya padi sawah selalu diupayakan oleh petani transmigrasi untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Akan tetapi budidaya padi sawah di lahan gambut dihadapkan pada berbagai masalah terutama menyangkut kendala-kendala fisika, kesuburan serta pengelolaan tanah dan air. Khususnya gambut tebal (> 1 m ) belum berhasil dimanfaatkan untuk budidaya padi sawah, karena mengandung sejumlah kendala yang belum dapat diatasi. Kunci keberhasilan budidaya padi sawah pada lahan gambut  terletak pada keberhasilan dalam pengelolaan dan pengendalian air, penanganan sejumlah kendala fisik yang merupakan faktor pembatas, penanganan substansi toksik dan pemupukan unsur makro dan mikro (Radjagukguk, 1990).
Lahan gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah gambut dengan (20-50 cm gambut) dan gambut dangkal (0,5-1 m). Padi kurang sesuai pada gambut sedang (1-2 m) dan tidak sesuai pada gambut tebal (2-3 m) dan sangat tebal (lebih dari 3 m). Pada gambut tebal dan sangat tebal, tanaman padi tidak dapat membentuk gabah karena kahat unsur hara mikro Subagyo et al, 1996).
Pada tanah sawah dengan kandungan bahan organik tinggi, asam-asam organik menghambat pertumbuhan, terutama akar, mengakibatkan rendahnya produktivitas bahkan kegagalan panen. Leiwakabessy dan Wahjudin  (1979) dalam Radjagukguk (1990) menunjukkan hubungan erat antara ketebalan gambut dan produksi gabah padi sawah. Pada percobaan pot dengan tanah yang diambil dari lapis 0-20 cm, diperoleh hasil gabah padi (ditanam secara sawah) yang sangat rendah apabila tebal gambut > 80 cm, dan yang paling tinggi apabila ketebalan gambut 50 cm. Ditunjukkan pula bahwa ada kesamaan antara pola perubahan kejenuhan Ca, kejenuhan Mg, pH dan kandungan abu bersama ketebalan gambut dengan perubahan tingkat hasil gabah. Sehingga kemungkinan tingkat kemasaman dan suplai Ca yang rendah serta kandungan abu yang rendah merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan padi sawah pada gambut tebal.
Tidak terbentuknya gabah menurut Andriesse (1988) dan Driessen (1978) berkaitan dengan defisiensi Cu yang akan menyebabkan meningkatnya aktivitas racun fenolik dan  menyebabkan male sterility pada tanaman padi.
2. Tanaman perkebunan dan industri
Budidaya tanaman-tanaman perkebunan berskala besar banyak dikembangkan di lahan gambut terutama oleh perusahaan-perusahaan swasta. Pengusahaan tanaman-tanaman ini kebanyakan dikembangkan di propinsi Riau dengan memanfaatkan gambut tebal. Sebelum penanaman, dilakukan pemadatan tanah dengan menggunakan alat-alat berat. Sistem drainase yang tepat sangat menentukan keberhasilan budidaya tanaman perkebunan di lahan tersebut. Pengelolaan kesuburan tanah yang utama adalah pemberian pupuk makro dan mikro (Radjagukguk, 1990). Tanaman perkebunan sesuai ditanam pada ketebalan gambut 1-2 m dan sangat tebal (2-3 m) (Subagyo et al, 1996)
Di Malaysia, diantara tanaman perkebunan yang lain seperti kelapa sawit, sagu, karet, kopi dan kelapa, nanas (Ananas cumosus) merupakan tanaman yang menunjukkan adaptasi yang tinggi pada gambut berdrainase. Nanas bisa beradaptasi dengan baik pada keadaan kemasaman yang tinggi dan tingkat kesuburan yang rendah. Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman tahunan yang cukup sesuai pada lahan gambut dengan ketebalan sedang hingga tipis dengan hasil sekitar 13 ton/ha pada tahun ketiga penanaman (Ambak dan Melling, 2000). Percobaan-percobaan yang dilakukan oleh PT. RSUP di Indragiri Hilir, menunjukkan bahwa tanaman nenas tumbuh dengan baik dan mulai berbuah 14 bulan setelah tanam. Dari hasil sementara menunjukkan bahwa, penanaman nanas dengan kerapatan 20.000 pohon/ha yang ditanam diantara jalur kelapa, tumpangsari kelapa nenas memberikan prospek yang sangat cerah (Sudradjat dan Qusairi, 1992).
Sagu bisa beradaptasi dengan baik dan memberikan hasil bagus tanpa pemberian input pupuk (Ahmad dan Sim, 1976) pada gambut dengan minimum drainase, walaupun umur tanaman sampai menghasilkan buah sangat lama (15-20 tahun).
Untuk jenis-jenis pohon buah banyak ditemukan di Sumatra dan Kalimantan seperti jambu air (Eugenia) Mangga (Mangosteen), rambutan (Ambak dan Melling, 2000) sedangkan di daerah pantai Ivory  dengan gambut termasuk oligotropik, pisang dapat tumbuh dengan drainase 80-100 cm dan menghasilkan 25-40 ton/ha walaupun dengan pengelolaan yang agak sulit (Andriesse, 1988) .
Komoditas lain yang berpotensi ekonomi untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan domestik adalah tanaman industri/keras seperti kelapa, kopi, lada dan tanaman obat (Abdurachman dan Suriadikarta, 2000).
Tanaman rami dan obat-obatan tumbuh dan berproduksi baik pada gambut sedang dan kurang baik pada gambut sangat dalam (3-5 m) (Subagyo et al, 1996).
3. Tanaman pangan (palawija) dan tanaman semusim lainnya
Tanah gambut yang sesuai untuk tanaman semusim adalah gambut dangkal dan gambut sedang. Pengelolaan air perlu diperhatikan agar air tanah tidak turun terlalu dalam atau drastis untuk mencegah terjadinya gejala kering tidak balik (Subagyo et al, 1996)
Tanaman pangan memerlukan kondisi drainase yang baik untuk mencegah penyakit busuk pada bagian bawah tanaman dan meminimalkan pemakaian pupuk. Cassava (Manihot esculenta) atau tapioka menghasilkan lebih dari 50 ton/ha dengan pengelolaan yang baik dan merupakan tanaman pangan yang penting pada gambut oligotropik tropis dengan drainase yang baik (Andriesse, 1988).
Di Bengkulu, penanaman jagung dengan penerapan teknologi yang spesifik untuk lahan gambut (teknologi Tampurin) diperoleh hasil 3,29 ton/ha pada varietas Pioneer-12 (Manti et al, 2001).
Sementara untuk tanaman sayuran, Satsiyati (1992) dalam Abdurachman dan Suriadikarta (2000) menyebutkan beberapa tanaman hortikultura yang berpotensi ekonomi untuk dikembangkan di lahan gambut eks PLG  yaitu cabai, semangka dan nenas .
Di daerah Kalampangan yang merupakan penghasil sayuran untuk Palangkaraya Kalimantan Tengah, petani setempat mengembangkan sayuran diantaranya sawi, kangkung, mentimun yang diusahakan secara monokultur dalam skala kecil dalam lahan kurang lebih 0,25 hektar (Limin et al, 2000). Di samping itu beberapa lahan gambut yang termasuk lahan bongkor bisa diusahakan untuk berbagai tanaman seperti cabai besar/keriting/kecil, terong, tomat, sawi, seledri, bawang daun, kacang panjang, paria, mentimun, jagung sayur, jagung manis, dan buah-buahan       (mangga, rambutan, melinjo, sukun, nangka, pepaya, nanas dan pisang) karena lahan gambut tersebut termasuk tipe luapan C/D (tidak dipengaruhi air pasang surut, hanya melalui rembesan air tanah>50 cm di bawah permukaan tanah pada musim kemarau dan <50 cm pada musim hujan) (Ardjakusuma et al, 2001)
Teknis Bertanam
Untuk menghindari penurunan permukaan tanah (subsidence) tanah gambut melalui oksidasi biokimia, permukaan tanah harus dipertahankan agar tidak gundul. Beberapa vegetasi seperti halnya rumput-rumputan atau leguminose dapat dibiarkan untuk tumbuh disekeliling tanaman kecuali pada lubang tanam pokok seperti halnya pada perkebunan kelapa sawit dan kopi. Beberapa jenis legume menjalar seperti Canavalia maritima dapat tumbuh dengan unsur hara minimum (Singh, 1986) dan menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap kemasaman.
Pembakaran seperti yang dilakukan pada perkebunan nanas harus mempertimbangkan pengaruhnya terhadap kebakaran lingkungan sekitarnya. Akan lebih baik bila penyiangan terhadap gula dikembalikan lagi ke dalam tanah (dibenamkan) yang akan berfungsi sebagai kompos sehingga selain bisa memberikan tambahan hara juga dapat membantu mempertahankan penurunan permukaan tanah melalui subsidence (Ambak dan Melling, 2000).
Untuk tanaman hortikultura, pembakaran seresah bisa dilakukan pada tempat yang khusus dengan ukuran 3 X 4 m. Dasar tempat pembakaran diberi lapisan tanah mineral/liat setebal 20 cm dan sekelilingnya dibuat saluran selebar 30 cm. Kedalaman saluran disesuaikan dengan kedalaman air tanah dan ketinggian air dipertahankan 20 cm dari permukaan tanah agar gambut tetap cukup basah. Ini dimaksudkan agar pada waktu pembakaran, api tidak menyebar Ardjakusuma et al (2001).

KESIMPULAN
Sebagian dari lahan gambut telah dimanfaatkan untuk perluasan areal pertanian. Pengembangan lahan gambut tersebut didasarkan atas kebutuhan bahwa penyediaan tanah-tanah yang kesuburannya tinggi relatif berkurang atau langka.
Dalam pengelolaanya, masih dijumpai sejumlah kendala yang menghambat tercapainya produktivitas yang tinggi. Kendala tersebut meliputi kendala fisik, kendala kimia  dan kendala yang berkaitan dengan penyediaan dan tata pengelolaan air.
Dari hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi yang paling sesuai adalah tanaman hortikultura diikuti  tanaman perkebunan dan industri, tanaman pangan dan padi sawah.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2002. The Wise Use of Mires and Peatlands
Anonim, 2002. Kalimantan’s Peatland Disaster. Inside Indonesia 65, January-March 2001.
Abdurachman dan Suriadikarta, 2000. Pemanfaatan Lahan Rawa eks PLG Kalimantan Tengah untuk Pengembangan Pertanian Berwawasan Lingkungan. Jurnal Litbang Pertanian 19 (3).
Ambak, K., dan Melling, L., 2000. Management Practices for Sustainable Cultivation of Crop Plants on Tropical Peatlands. Proc. Of The International Symposium on Tropical Peatlands 22-23 November 1999. Bogor-Indonesia, hal 119
Andriesse, 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. FAO Soils Bulletin 59. Food and Agriculture Organisation of The United Nations. Rome.
Ardjakusuma, S., Nuraini, Somantri, E., 2001. Teknik Penyiapan Lahan Gambut Bongkor untuk Tanaman Hortikultura. Buletin Teknik Pertanian. Vol 6 No. 1, 2001. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Darung, U, Mimbar, S.M., Syekhfani., 2001. Pengaruh Waktu Pemberian Kapur dan Pupuk Kandang Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Panen Kedelai Pada Tanah Gambut Pedalaman Kalimantan Tengah. Buletin Biosain, Vol. 1, No.2, Maret 2001.
Driessen, P.M., 1978. Peat Soils. In. Soils and Rice. International Rice Research Institute. Los Banos Philiphines.
Manti, I., Supriyanto, Martasari, C., 2001. Keragaan Paket Teknologi Budidaya Jagung Pada Lahan Gambut. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian Pertanian se-Sumatera 31 Oktober-1 November 2001. Bengkulu.
Mawardi, E., Azwar dan Tambidjo, A., 2001. Potensi dan Peluang Pemanfaatan Harzeburgite sebagai Amelioran Lahan Gambut. Prosiding Seminar Nasional Memantapkan Rekayasa Paket Teknologi Pertanian dan Ketahanan Pangan dalam Era Otonomi Daerah, 31 Oktober – 1 November 2001. Bengkulu.
Limin, S., Layuniati., Jamal, Y., 2000. Utilization of Inland Peat for Food Crop Commodity Development Requires High Input and is Detrimental to Peat Swamp Forest Ecosystem. Proc. International Symposium on Tropical Peatlands 22-23 November 1999. Bogor-Indonesia.
Lucas, R.E., 1982. Organic Soils (Histosols): Formation, distribution, physical and Chemical properties and management for crop production. Research Report 435 Far Science. Michigan University, East Lansing.
Radjagukguk, B. 1990. Pengelolaan sawah bukaan baru di lahan gambut menunjang swasembada pangan dan program transmigrasi. Seminar Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Ekasakti dan Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami Padang 17-18 September 1990. Padang
Radjagukguk, B., 1990. Prospek pengelolaan tanah-tanah gambut untuk perluasan lahan pertanian. Seminar Nasional Tanah-tanah bermasalah di Indonesia KMIT Fakultas Pertanian UNS Surakarta 15 Oktober 1990. Surakarta.
Rismunandar, T. 2001. Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Menciptakan Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Makalah Pribadi pada Matakuliah Pengantar Falsafah Sains. IPB Bogor.
Singh, G., Tan, Y.P., Padman, C.V., Rajah dan Lee. F.W. 1986. Experinces on the Cultivation and Management of Oil Palm on Deep Peat in United Plantation Berhard. In. Proc. 2nd Intern-Soils Management Workshop Thailand/Malaysia 7-18 April 1986.
Subagyo, Marsoedi dan Karama, S., 1996. Prospek Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian dalam Seminar Pengembangan Teknologi Berwawasan Lingkungan untuk Pertanian pada Lahan Gambut, 26 September 1996. Bogor.
Sudradjat daan Qusairi, L., 1992. Diversifikasi Usaha Perkebunan Pada Lahan Gambut Dengan Kelapa Sebagai Tanaman Utama (Suatu Pandangan terhadap pemanfaatan Lahan Gambut). Seminar Pengembangan Terpadu kawasan Rawa Pasang Surut di Indonesia 5 September 1992. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

METODE VEGETATIF PADA KONSERVASI TANAH DAN AIR

METODE VEGETATIF

Pemanfaatan lahan yang tidak mengindahkan upaya pengawetan tanah, akan mengakibatkan menurunnya produktivitas lahan, bahkan dapat menimbulkan erosi. Apalagi jika lahan tersebut berada di sekitar aliran sungai (DAS).
Kerusakan daerah aliran sungai sangat erat hubungannya dengan kelestarian hutan di daerah hulu sebagai daerah tangkapan hujan.
Apabila hutan mengalami kerusakan, maka dapat dipastikan terjadi pada daerah aliran sungai. Untuk itu berusah tani didaerah DAS,harus di ikuti konservasi lahan.
Agar kelestarian sumber daya alam dan keserasian ekosistem dapat memberikan manfaat yang berkesinambungan maka pengelolaan DAS harus dilakukan sebaik mungkin,yang meliputi:
  • Pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui.
  • Kelestarian dan keserasian ekosistem(lingkungan hidup)
  • Pemenuhan kebutuhan manusia yang berkelanjutan
  • Pengendalian hubungan timbale balik antara sumber daya alam dengan manusia.
Usaha pokok dalam pengawetan tanah dan air meliputi:
  1. pengelolaan lahan
    • sesuai kamampuan lahan.
    • Mengembalikan sisa-sisa tanaman ke dalam tanah.
    • Melindungi lahan dari ancaman erosi dengan menanam tanaman penutup tanah.
    • Penggunaan mulsa.
  2. pengeloalaan air
·        jumlah air yang memadai
·        kwalitas air
·        tersedia air sepanjang tahun.

3.pengelolaan vegetasi
pengelolaan vegetasi pada hutan tangkapan air maupun pemeliharaan vegetasi sepanjang aliran sungai, dapat ditempuh dengan cara:
·        penanaman dengan tanaman berakar serabut seperti bamboo yang sangat di anjurkan di pinggiran sungai, kemudian diikuti dengan rumput makanan ternak.
·        Penanaman tanaman semusim untuk lahan yang tidak memiliki kemiringan.
·        Pembuatan teras. Bila pada lahan tersebut terdapat kemiringan maka perlu di buat teras, dan pada lahan kemiringan 5-10% di bangun teras kredit , lahan berbukit dengan kemiringan 10-30% di buat teras bangku, dan lahan dengan kemiringan lebih dari 30% di buat teras individu.
4. usaha tani konservasi
Usaha tani konservasi adalah penanaman lahan dengan tanaman pangan serta tanaman yang berfungsi untuk mengurangi erosi(aliran permukaan) dan mempertahankan kesuburan tanah.
Prinsip usaha tani konservasi:
  • Mengurangi sekecil mungkin aliran air permukaan dan meresapkan airnya sebesar mungkin kedalam tanah.
  • Memperkecil pengaruh negative air hujan yang jatuh pada permuakaan tanah.
  • Memanfaatkan semaksimal sumber daya alam dengan memperhatikan kelestarian.
Cara usaha konservasi:
  • Metode vegetatif
  • Metode mekanik atau teknik sipil
  • Metode kimia.

Metode vegetatif adalah penggunaan tanaman atau tumbuhan dan sisa-sisanya untuk mengurangi daya rusak hujan yang jatuh, mengurangi jumlag dan daya rusak aliran permukaan dan erosi.

            Fungsi dari metode vegetatif adalah:
  • Untuk melindungi tanah terhadap daya perusak butir- butir hujan yang jatuh.
  • Untuk Melindungi tanah terhadap daya perusak aliran air di atas permukaan tanah.
  • Untuk memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan penahan air yang langsung mempengaruhi besarnya aliran permukaan.

Teknologi pengendalian atau pencegahan erosi.
Usaha untuk mencegah dan atau mengendalikan erosi ,ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi  seperti: faktor iklim, tanah, bentuk wilayah(misalnya kemiringan), vegetasi penutup tanah dan kegiatan manusia.
            Prinsip-prinsip dari usaha pengendalian erosi adalah:
  • Memperbesar resistensi permukaan tanah sehingga lapisan permukaan tanah tahan terhadap pengaruh tumbukan butir-butir air hujan.
  • Memperbesar kapasitas infiltrasi tanah, sehingga lajunay aliran permukaan dapat diredusir.
  • Memperbesar resistensi tanah sehingga daya rusak dan daya hanyut aliran permukaan terhadap partikel-partoekl tanah dapt diperkecil atau diredusir.
                                                  
            Secara umum, tujuan penerapan teknologi konservasi adalah untuk meningkatkan produktivitas lahan secara maksimal, memperbaiki lahan yang rusak/kritis, dan melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah akibat erosi. Beberapa teknologi yang telah dihasilkan oleh kelti KR2L adalah sebagai berikut:
1. Teknik pengendalian erosi
  • Metode sipil teknis (misal: teras, rorak)
  • Metode vegetatif (misal: strip rumput, alley cropping)
2. Teknik konservasi dan pengelolaan air
  • Teknik konservasi air (misal: parit buntu, check dam)
  • Teknik irigasi (misal: penelitian irigasi sprinkle, penelitian irigasi tetes, penelitian irigasi permukaan) .

Pada metode vegetatif yang berperan adalah tanaman, dimana tanaman-tanaman itu berperan untuk mengurangi erosi,yaitu dalam hal:
1.      batang, ranting dan daun-daunannya berperan mengahalangi tumbukan tumbukan langsung butir-butir hujan kepada permukaan tanah, dengan peranannya itu tercegahlah penghancuran agregat-agregat tanah.
2.      daun-daun penutup tanah serta akar-akar yang tersebar pada lapisan permukaan tanah berperan mengurangi kecepatan aliran permukaan(run off), sehingga daya kikis, daya angkutan air pada permukaan tanah dapat direduksi, diperkecil ataupun diperlamban.
3.      daun-daunan serta ranting-ranting tanaman yang jatuh akan menutupi permukaan tanah,peranannya sebagai pemulsa tanah yang dapat mengurangi kecepatan alairan permukaan serta melindungi permukaan tanah terhadap daya kikis air.
4.      akar-akar tanaman memperbesar kapasitas infiltrasi tanah,tunjangan dalam meningkatkan aktivitas biota tanah yang akan memperbaiki porositas, stabilitas agregat serta sifat kimia tanah.
5.      akar-akar tanaman berperan dalam pengambilan atau pengisapan air bagi keperluan tumbuhnya tanaman yang selanjutnya sebagian diuapkan (evaporasi) melalui daun-daunannya ke udara.
            Peranan tanaman dalam metode vegetatif mempunyai Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam usaha pengendalian erosi dan atau pengawetan tanah yaitu:
  • Penghutanaan kembali dan penghijauan
    1. Penghutanan kembali atau reboisasi
Tanah-tanah yang gundul akibat perusakan hutan dan tanaman keras lainnya, harus di perbaiki dan dipulihkan kelestariannya, jalan yang dapat di tempuh adalah dengan reboisasi atau penghutanan kembali.reboisasi adalah penghutanan kembali tanah-tanah yang gundul dengan ditanami tanama-tanaman keras.
Terdapat dua cara dalam mencegah reboisasi adalah cara banjar harian dan cara tumpang sari.Cara banjar harian, petani menerima upah untuk penanaman dan pemeliharaan tanaman reboisasi. Sedangkan cara tumpang sari , petani mendapat kesempatan untuk menanam palawija selama beberapa musim di antara tanaman reboisasi.
    1. Penghijauan
Penghijauan adalah penanaman tanah-tanah rakyat dan tanah-tanah lainnya seperti tanah desa, tanah bebas(negara) tanah bekas perkebuanan yang umumnya telah mengalami kerusakan-kerusakan, baik yang ada di daratan tinggi maupun daerah aliran sungai yang kesemuanya berada di luar kawasan hutan, dengan berbagai pohon=pohonan terpilih dan atua rumput-ruputan dengan maksud untuk pengwetan tanah (pencegahan  erosi) dan dapat memberikan tambahan pendapatan bagi para petani atua pemilik tanah yang bersangkutan.

  • Penanaman secara garis kontur
Penanaman secara garis kontur sangat diperlikan dan harus di perhatikan kalau keadaan mempunyai kemiringan, jadi penanaman secara garis kontur ialah penanaman tanaman yang searah atau sejajar dengan garis kontur atau dengan secara menyilang lereng tanah, bukan menjurus searah dari atas kebawah lereng. Dengan demikian maka tindakan –tindakan untuk mengolah tanah seperti membajak, menggaru, menyiapkan bedengan-bedengan, pembibitan dan pembuatan bedengan atau larikan tanaman haruslah sejajar dengan garis kontur tersebut (contour cropping system).

  • Penanaman tanaman penutup tanah
Tanaman-tanaman penutup permukaan tanah berperan untuk melindungi permukaan tanah dari daya dispersi dan daya penghancur oleh utir-butir hujan.Selain itu berperan pula dalam hal memperlambat aliran permukaan serat melindungi tanah permukaan dari daya kikis aliran permukaan. Tanaman penutup permukaan besar pula samabungannya dalam memperkaya bahan-bahan organik tanah serta memperbesar porositas tanah.
Tanaman penutup tanah yang rendah dalam wujud pertumbuhan dapat terdiri atas jenis-jenis:tanaman alternanthera amoena voss atau bayam krema,ageratu conizoides L atau babadotan, rasim atau sintrong,bulu lutung, calincing dll.

  • Penanaman tanaman dalam larikan (strip cropping)
Cara yang efektif dalam pengendalian erosi atau pengawetan tanah yaitu membuat larikan –larikan secukupnya, pada lariakn –lariakn pertama yang searah dengan garis kontur itu dipahami rumput-rumputan atau tanaman pupuk hijau.
Strip cropping adalah untuk memperlambat lajunya aliran permukaan, larikan-larikan tanaman penutup tanah dimaaksudkan pula untuk melindungi lariakn-larikan tanaman palawiaj dari aliran permukaan tersebut.


  • Penggiliran tanaman (crop ratation)
Penggiliran tanaman adalah suatu sistem bercocok tanam pada sebidang tanah yang terdiri dari beberapa macam tanam yang di tanam secara berturut-turut pada waktu tertentu, setelah masa panennya kembali lagi pada tanaman semula.
Manfaat penanaman secara demikian yaitu selain untuk mengurangi keberlangsunagan erosi, juga untuk :
  1. meningkatkan produksi pertanian dan atau pendapatan petani per satuan luas dalam suatu kurun waktu.
  2. meratakan pemanfaatan tanah-tanah yang kosong
  3. memperkaya variasi menu petani
  4. memperkecil risiko kegagalan panen
  5. memperbaiki kesuburan tanah
  6. mengurangi biaya pengoalahan tanah
  7. memelihara keseimbangan biologis.
Beberapa bentuk dalam penggiliran tanaman seperti:
  • sequental planting atau penanaman tanaman secara beruntun,dalam hal ini menanam atau menumbuhkan tanaman berikutnay sesegera mungkin setelah tanaman terdahulu di panen.
  • Mixed cropping atau melakukan pertanaman tanaman campuran, dua jenis tanaman atau lebih tanpa mengabaikan tanaman pupuk hijan atau tanaman penutup permukaan di tanam sserentak pada waktu yang sama.
  • Inter cropping dapat pula di sebut tumpang sari berbeda umur.
  • Inter culture, dalam hal in misalanya tanaman semusim atau tanaman yang berumur pendek di tanam di antara tanaman tahunan.seperti: kacang tanah di tanam di antara tanaman pepaya, kacang-kacangan di tanam diantara pohon jeruk dan lain sebagainya.

  • Penggunaan serasah(mulching)
Mulching ataun pemulsaan yaitu menutupi permukaan tanah dengan serasah atau sisa-sisa tanaman benar-benar berkemampuan mencegah berlangsungnay erosi, dikarenakan pemulsaan akan melindungi tanah permukaan dari daya timpa butir-butir huajn, dan melindungi tanah permukaan tersebut dari daya aliran air di permuakaan.
Pemulasaan tanah dapat pula mempertahankan kelembaban dan suhu tanah, sehingga dapat memperbaiki pengambilan zat hara oleh akar tanaman. Serasah atau sisa-sisa tanaman yang melapuk akan memperkaya bahan organik dalam tanah,dengan demikian sifat fisik dan tanah dapat di perbaiki pula.

Faktor-faktor pembentukan tanah
Proses pembentukan tanah di Daerah Aliran Sungai Babon dicerminkan  oleh pengaruh faktor-faktor iklim, topografi, bahan induk, organisme, dan waktu, sehingga karakter tanah dipengaruhi oleh interaksi kelima faktor tersebut. Pengaruh faktor iklim ditandai oleh curah hujan tahunan rata-rata relatif tinggi, yakni 2.202 mm (Semarang) dan 2.770 mm (Ungaran). Tipe iklim daerah ini tergolong agak basah hingga basah (Schmidt dan Ferguson), dengan demikian dapat dikategorikan ke dalam regin lengas tanah udik.
Topografi  daerah ini bervariasi, yakni datar, berombak, bergelombang, berbukit dan bergunung. Wilayah datar menempati lereng bawah di bagian utara, wilayah berombak dan bergelombang terletak pada bagian lereng tengah, dan wilayah berbukit dan bergunung meliputi lereng atas di lokasi bagian selatan. Bahan induk pembentuk  tanah di wilayah lereng bawah berupa batuan sedimen resen yang tersusun dari lempung, lanau dan pasir yang tidak padu. Di wilayah lereng tengah dan lereng atas batuan induk penghasil bahan induk tanah berupa batuan beku dan batuan sedimen sub-resen terdiri dari andesit, yakni sebagai breksi andesit harblende augit.
Pembentukan tanah di lahan bawahan pada beberapa bagian terjadi dalam lingkungan basah (jenuh air). Oleh karena selalu jenuh air, maka proses reduksi dan oksidasi menjadi dominan, sehingga menyebabkan tanah-tanah berwarna kelabu, sedang di bagian wilayah peralihan fluktuasi muka air tanah menyebabkan proses reduksi dan oksidasi berlangsung secara bergantian yang dicirikan dengan adanya karatan (mottcing) berwarna kuning hingga merah.
Pada lahan atasan, terutama di wilayah topografi berbukit dan bergunung tingkat perkembangan tanah bervariasi dari lemah hingga kuat, akibatnya solum tanah juga bervariasi mulai dari sangat dangkal (< 25 cm) sampai dengan sangat dalam (> 120 cm) .
Klasifikasi tanah
Klasifikasi tanah di daerah ini disusun berdasarkan pada data sekunder dan pengamatan serta pengukuran di lapangan melalui profil tanah, pemboran tanah, pengamatan kondisi lingkungan, yang dilengkapi data hasil analisis laboratorium dari contoh tanah pewakil.
Pengamatan dan pengukuran mencakup sifat fisik tanah, yakni : warna, tekstur, struktur, konsistensi, drainase, bahan induk, dan lain-lain; sifat kimia tanah, yakni : pH, kadar bahan organik, kadar kapur, N-Total, P tersedia, K tersedia, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa, kejenuhan Al, dan lain-lain. Berdasarkan terminologi tersebut tanah-tanah di daerah ini terdiri dari lima jenis tanah yakni Alluvial, Kambisol, Regosol, Latosal, dan Litosal.
Erosi tanah
Perkembangan bentuk-bentuk erosi tanah, seperti erosi lembar (sheet erosion), erosi alur (rill erosion), dan erosi parit (gully erosion) di masa mendatang sangat tergantung pada tingkat bahaya erosi tanah. Di samping itu, perencanaan konservasi tanah memerlukan data tentang tingkat bahaya erosi tanah. Bahaya erosi tanah adalah keadaan yang memungkinkan bahwa erosi tanah akan segera terjadi dalam waktu yang relatif dekat, atau dalam hal apabila erosi tanah telah terjadi di suatu daerah, maka bahaya erosi tanah adalah tingkat erosi tanah yang akan terjadi di masa mendatang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tanah adalah iklim, topografi tanah, vegetasi, dan tindakan manusia terhadap lahan. Faktor-faktor erosi tanah yang sifatnya relatif permanen, yakni iklim, topografi, dan tanah menentukan besar erosi potensial dan apabila faktor-faktor tersebut ditambah dua faktor lainnya yakni vegetasi dan tindakan manusia terhadap lahan menentukan bahaya erosi aktual. Bentuk-bentuk erosi di daerah survei terutama erosi lembar dan erosi alur pada wilayah lereng tengah, sedang pada lereng atas dijumpai bentuk erosi parit.
TBE (Tingkat Bahaya Erosi) adalah perkiraan jumlah tanah yang hilang maksimum yang akan terjadi pada suatu lahan, bila pengelolaan tanaman dan tindakan konservasi tanah tidak mengalami perubahan. Penentuan TBE pada setiap unit lahan didasarkan pada perkiraan jumlah tanah hilang maksimum (A) dan tebal solum dari unit lahan yang bersangkutan.
Mengingat bahwa dalam menentukan TBE diperlukan data laju erosi dan data tebal solum pada setiap bentuk lahan, maka dilakukan pengamatan di lapangan terhadap tanah, topografi, penggunaan lahan, jenis tanaman dan pola tanam serta tindakan konservasi tanah yang diterapkan.
Selanjutnya dari peta kemampuan lahan dan peta tanah, serta pengamatan di lapangan, maka ketebalan solum tanah di wilayah DAS Babon dapat diketahui.
Tabel Kedalaman Solum Tanah
Ketebalan Solum Tanah
Keterangan
> 90
Dalam
60 - 90
Sedang
30 - 60
Dangkal
< 30
Sangat dangkal

Sumber : BRLKT (1991)
Untuk selanjutnya tingkat bahaya erosi (TBE) yang ditentukan dari tingkat laju erosi (A) dan tebal solum tanah dinyatakan sebagai berikut :
 Tabel Pembagian Klas Tingkat Bahaya Erosi
No
Tebal Solum (Cm)
Tingkat Laju Erosi (ton/ha/th)
I   (< 15)
II (15-60)
III (60-180)
IV (180-480)
V (> 480)
1
Dalam ( > 90)
SR
R
S
B
SB
2
Sedang (60 – 90)
R
S
B
SB
SB
3
Dangkal (30 – 60)
S
B
SB
SB
SB
4
Sangat dangkal (< 30)
B
SB
SB
SB
SB

Konservasi sumberdaya lahan atau konservasi tanah ialah upaya manusia  untuk mempertahankan,meningkatkan, mengembalikan atau merehabilitasi daya guna lahan (tanah) sesuai dengan peruntukkannya.
Dalam pelaksanaan usaha konservasi tanah perlu mempertimbangkan hal-hal berikut : bentuk-bentuk kerusakan tanah, kemampuan lahan, tataguna lahan yang rasional, daya guna atau produktivitas lahan yang optimal dan latar belakang sosial ekonomi penduduk. 


 
© Bosan Kuliah All Rights Reserved