Tampilkan postingan dengan label INFLASI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label INFLASI. Tampilkan semua postingan

PERKEMBANGAN LAJU INFLASI SELAMA PERIODE 1990-2006

Pada dasarnya banyak data statistik ekonomi yang dapat dijadikan indikator untuk memperlihatkan laju inflasi, diantaranya adalah Indeks Harga Konsumen (IHK).  Di Indonesia IHK dihitung berdasarkan perkembangan harga di 17 ibukota provinsi yang mencakup 150 jenis barang dan jasa dengan dasar perhitungan tahun 1985 sampai tahun 1996, sedangkan untuk tahun 1996 sampai sekarang IHK dihitung berdasarkan  perkembangan harga di 43 kota yang mencakup 225 jenis barang dan jasa.  Oleh karena itu perubahan harga di luar jenis barang dan jasa tersebut dari 17 kota (1985) atau 43 kota (1996) tidak dapat mempengaruhi laju inflasi nasional (Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, 2004: 24).
Pada Tabel 4.1 dapat dilihat perkembangan Indeks Harga Konsumen dan laju inflasi di Indonesia, sebagai berikut :

Tabel 4.1
Perkembangan Indeks Harga Konsumen dan Laju Inflasi di Indonesia
Tahun 1990– 2006




Tahun
Indeks Harga Konsumen (%)
Laju Inflasi (%)

1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
342,77
358,89
365,37
379,12
393,46
408,12
419,91
441,91
540,38
544,36
563,28
591,06
616,04
629,90
792,90
798,59
817,26
9,53
9,52
4,94
9,77
9,24
8,64
6,47
11,03
77,63
2,01
9,35
12,55
10,03
5,1
6,4
17,1
6,60
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007
Dari tabel 4.1, pelaksanaan kebijaksanaan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berlaku sejak 25 Mei 1990 langsung ditanggapi oleh pasar.  Hal ini dibuktikan oleh tingginya inflasi pada Juni sebesar 1,72 persen untuk kelompok perumahan, 2,07 persen untuk kelompok aneka barang dan jasa. Kenaikan ini terus berlanjut hingga bulan juni yang mencapai 3,19 persen untuk kelompok aneka barang dan jasa serta 2,68 persen untuk kelompok perumahan.  Tingginya kenaikan harga pada kelompok aneka barang dan jasa terutama disebabkan oleh meningkatnya tarif angkutan darat dan udara, sedangkan pada kelompok perumahan disebabkan naiknya harga semen. Sampai dengan akhir Desember laju inflasi telah mencapai 9,53 persen.
Pada akhir Juni 1991 tingkat inflasi nasional yang terjadi adalah sebesar 3,60 persen.  Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan angka inflasi pada bulan yang sama pada tahun 1990 yang mencapai 4,10 persen.  Sedangkan laju inflasi  untuk tahun 1991 adalah sebesar 9,52 persen (258,89).  Angka ini tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 9,53 persen (342,77).
Untuk mencegah inflasi diatas double digits maka pemerintah mulai melakukan pengontrolan dan pengetatan terhadap harga-harga barang dan jasa.  Usaha ini tampak sukses dengan munculnya inflasi yang rendah sebesar 4,94 persen (365,37) pada tahun 1992.  Memasuki tahun 1993 pengekangan dan pengontrolan harga yang ketat tidak dapat dipertahankan, hal ini  terbukti dengan meningkatnya kembali laju inflasi yaitu sebesar 9,77 persen (379,12).  Peningkatan laju inflasi yang sangat mencolok ini tidak terlepas dari adanya permainan harga pasar oleh ulah para pelaku spekulan yang ingin mengeruk keuntungan yang tinggi.
Tahun-tahun berikutnya yaitu 1994, 1995, dan 1996 tingkat laju inflasi di Indonesia mengalami penurunan secara terus menerus, dimana masing-masingnya adalah 9,24 persen, 8,64 persen dan 6,47 persen, walaupun tingkat harga umum meningkat dari tahun ke tahun selama 3 tahun tersebut.
Awalnya tahun 1997 laju inflasi di Indonesia masih berada dibawah 10 persen, ini terlihat dengan laju inflasi pada kwartal kedua yang berkisar  5,37 persen.  Akhir tahun 1997 kenaikan barang-barang dan jasa sudah terlihat, selain disebabkan oleh menurunnya nilai tukar rupiah, juga disebabkan oleh faktor musiman.  Indeks harga secara umum yang dihitung berdasarkan harga gabungan di 43 kota di Indonesia terlihat mencapai 441,91 persen dengan laju inflasi 11,03 persen.
Tahun 1998 merupakan tahun yang kelam bagi perekonomian Indonesia,, disini laju inflasi 77,63 persen (540,38 persen). Ini merupakan dampak dari merosotnya nilai tukar rupiah terhadap valuta asing dan faktor sosial politik yang tidak aman, sehingga mengakibatkan harga-harga barang dan jasa terus meningkat tajam sampai akhir tahun 1998.  Memasuki tahun 1999 walaupun Indeks Harga Konsumen (IHK)  meningkat akan tetapi laju inflasi dapat di tekan menjadi 2,01 persen (544,36 persen), ini merupakan laju inflasi yang paling rendah selama rentang waktu 20 tahun (1987-2006).  Penurunan laju inflasi ini disebabkan oleh menguatnya nilai tukar Rupiah di pasar valuta asing dan juga dapat dikendalikannya harga-harga barang dan jasa di pasar oleh pemerintah.
Menjelang sidang tahunan MPR (Agustus 2000) dan perkembangan politik serta keamanan yang kurang baik mengakibatkan laju inflasi mengalami peningkatan yaitu menjadi 9,35 persen dengan IHK sebesar 563,28 persen.  Peningkatan laju inflasi ini juga terkait dengan serangkaian kebijakan pemerintah seperti pengurangan subsidi BBM, cukai rokok dan adanya peningkatan permintaaan barang dan jasa oleh masyarakat dalam rangka menyambut hari keagamaan yang bersamaan.  Akibat kebijakan permerintah tersebut laju inflasi terus meningkat sampai tahun 2001 yaitu 12,55 persen (591,06 persen).
Faktor lain penyebab naiknya laju inflasi tahun 2001 adalah kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM pada pertengahan Juni 2001 yang diikuti oleh kenaikan tarif dasar listrik dan kenaikan tarif telepon.  Pada tahun 2002 inflasi di Indonesia menurun menjadi 10,03 persen (616,04 persen).  Penurunan inflasi disebabkan oleh menguatnya nilai tukar rupiah dan juga dipengaruhi oleh membaiknya ekspektasi inflasi (karena harapan membaiknya kondisi ekonomi) dan juga tersedianya pasokan kebutuhan pokok masyarakat khususnya beras (operasi pasar beras dilakukan Bulog).
Walaupun pada akhir tahun 2002 terjadi tragedi yang amat mengerikan yaitu peledekan bom di Bali (tragedi Bali) tetapi tidak meningkatkan laju inflasi pada tahun berikutnya di Indonesia secara tahunan, akan tetapi hanya mempengaruhi laju inflasi secara kwartal atau bulanan.  Laju inflasi di Indonesia tahun 2003 malah menurun dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 5,1 persen (629,90).  Disamping sudah membaiknya perekonomian Indonesia, penurunan ini juga dipengaruhi oleh membaiknya sektor rill dan adanya kepercayaan dari para investor terhadap Indonesia.
Tahun 2004 IHK naik menjadi 792,09 persen yang disebabkan oleh naiknya inflasi pada tahun 2004 dengan angka 6,4 persen.  Pada akhir tahun 2004 tepatnya tanggal 26 Desember 2004, terjadi musibah gempa dan tsunami yang melanda Aceh dan sebagian Sumatera.  Sehingga ini merupakan musibah yang dialami oleh bangsa Indonesia karena kerusakan yang ditimbulkan amat parah oleh bencana tersebut.  Meningkatnya laju inflasi ini berlanjut hingga pada tahun 2005 menjadi 17,1 persen, yang kemudian pada tahun 2006 laju inflasi menjadi 6,60 persen.

JENIS – JENIS INFLASI

Ada berbagai cara untuk menggolongkan jenis inflasi, dan penggolongan mana yang kita pilih tergantung pada tujuan kita.
1.   Penggolongan pertama didasarkan atas “parah” tidaknya inflasi (Boediono, 1985 : 162 ), dapat dibedakan dalam beberapa macam inflasi :
      1.   Inflasi ringan ( dibawah 10 % setahun )
      2.   Inflasi sedang ( antara 10 – 30 % setahun )
      3.   Inflasi berat ( antara 30 – 100 % setahun )
      4.   Hiperinflasi ( di atas 100 % setahun )
2.    Penggolongan atas dasar asal dari inflasi, dapat dibedakan dua macam :
1.   Inflasi yang berasal dari dalam negeri ( domestic inflation )
            Inflasi yang berasal dari dalam negeri misalnya karena defisit anggaran belanja yang dibiayai oleh pencetakan uang baru, panenan yang gagal dan sebagainya. Atau dapat dikatakan karena adanya interaksi permintaan-penawaran di dalam negeri. Dapat dikatakan bahwa kenaikan harga disebabkan karena adanya kejutan (shock)  dari dalam negeri, baik karena perilaku masyarakat maupun perilaku pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang secara psikologis berdampak inflatoar. Kenaikan harga terjadi secara absolute. Salah satu sumber inflasi ini adalah defisit anggaran belanja pemerintah. Pencetakan uang untuk membiayai defisit anggaran tersebut akan menyebabkan inflasi


2.    Inflasi yang berasal dari luar negeri ( imported inflation)
      Inflasi yang berasal dari luar negeri yang merupakan faktor eksternal yang menjadi asal dari terjadinya inflasi di sebuah negara. Faktor eksternal ini dapat dikatakan sebagai imported inflation. Imported inflation  adalah inflasi yang terjadi di dalam negeri karena adanya pengaruh kenaikan harga dari luar negeri. Kenaikan harga di dalam negeri terjadi karena dipengaruhi oleh kenaikan harga dari luar negeri terutama barang-barang impor atau kenaikan bahan baku industri yang masih belum dapat diproduksi di dalam negeri. Kenaikan harga barang impor, yang merupakan salah satu komponen Indeks Harga Konsumen, akan meningkatkan biaya produksi dan kemudian menyebabkan inflasi. Selain itu yang juga menyebabkan imported inflation  adalah perubahan nilai mata uang/kurs terhadap mata uang asing.

DAMPAK INFLASI

Nanga (2005: 247) inflasi yang terjadi di dalam suatu perekonomian memiliki beberapa dampak atau akibat sebagai berikut:
a.       Inflasi dapat mendorong terjadinya perubahan redistribusi pendapatan, dimana menyebabkan pendapatan riil satu orang meningkat, tetapi pendapatan riil orang lainnya menurun.
b.      Inflasi dapat mengalahkan sumber daya dari investasi yang produktif ke investasi yang tidak produktif sehingga mengurangi kapasitas ekonomi produktif.
c.       Inflasi dapat menyebabkan perubahan-perubahan dalam output dan kesempatan kerja dengan cara memotivasi orang untuk memproduksi lebih atau kurang dari yang telah dilakukan selama ini.
d.      Inflasi dapat menciptakan suatu lingkungan yang tidak stabil bagi keputusan ekonomi.
Selanjutnya menurut Sukirno (1997: 305), pengaruh inflasi dapat dibedakan dalam dua aspek:
1.      Akibat buruk kepada perekonomian
a.       Inflasi menggalakkan penanaman modal spekulatif diantara pemilik modal.
b.      Inflasi dapat menaikkan tingkat bunga dan mengurangi investasi.
  1. Inflasi dapat menimbulkan ketidakpastian mengenai keadaan ekonomi di masa depan.
  2. Inflasi menyebabkan harga barang impor lebih murah daripada barang yang dihasilkan di dalam negeri, kecenderungan ini akan memperburuk keadaan neraca pembayaran dan kemerosotan nilai mata uang.
2.      Akibat buruk ke atas individu dan masyarakat
  1. Memperburuk distribusi pendapatan masyarakat sebagai akibat inflasi.
  2. Inflasi cenderung menimbulkan kemerosotan pendapatan riil sebagian tenaga kerja.
  3. Merosotnya nilai riil tabungan masyarakat sebagai akibat inflasi.
DAFTAR PUSTAKA
Sukirno, Sadono. (2004). Makro Ekonomi. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nanga, Muana. (2005). Makroekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Raja Grafika Persada.
 
© Bosan Kuliah All Rights Reserved